InfoSAWIT, BERLIN — Di sebuah pertemuan di Berlin pada akhir April 2025 lalu, suara petani dari Indonesia menggema di antara para pengusaha, aktivis lingkungan, dan pejabat pemerintah Jerman. Sabarudin, Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), berdiri mewakili para petani sawit kecil dari tanah air, menyampaikan harapan dan keresahannya di hadapan para anggota Forum for Sustainable Palm Oil (FONAP).
FONAP, forum yang berdiri sejak 2015 dan kini beranggotakan lebih dari 50 pemangku kepentingan — mulai dari perusahaan besar, asosiasi, LSM, hingga Kementerian Pangan dan Pertanian serta Kementerian Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan Jerman — telah lama menjadi motor penggerak bagi praktik minyak sawit berkelanjutan. Tujuan mereka sederhana namun krusial: memastikan bahwa minyak sawit yang digunakan di dunia berasal dari rantai pasok yang ramah lingkungan dan menghargai hak asasi manusia.
Kini, dengan bergabungnya SPKS sebagai anggota resmi FONAP pada 2024, misi itu mendapatkan dimensi baru. Untuk pertama kalinya, suara petani sawit kecil benar-benar masuk dalam percakapan global tentang keberlanjutan. “Kami ingin menunjukkan bahwa petani mampu menghasilkan sawit berkelanjutan, bebas deforestasi, dan bisa dilacak asal-usulnya,” tegas Sabarudin dalam keterangan resmi diterima InfoSAWIT, Jumat (2/5/2025).
BACA JUGA: Laba TLDN Meroket di Kuartal I/2025, Ditopang Lonjakan Harga dan Hilirisasi
Namun, perjalanan menuju rantai pasok berkelanjutan tidak selalu mulus. Sabarudin menyinggung satu masalah krusial: skema kredit RSPO yang kini banyak tidak terserap pasar. “Banyak petani sudah bersertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), tapi kreditnya tidak dibeli karena tidak ada ketertelusuran fisik yang diminta pasar, khususnya Eropa,” ujarnya. Ia berharap anggota FONAP dapat menjadi jembatan agar produksi Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) petani Indonesia bisa benar-benar dibeli dan dinikmati konsumen dunia.
Mendengar seruan itu, Deputi Direktur Transformasi Pasar RSPO Indonesia, M. Windrawan Inantha pun merespons positif. Ia menyampaikan bahwa saat ini RSPO tengah menguji integrasi petani bersertifikat ke dalam rantai pasok fisik. Salah satu contoh nyatanya adalah kerja sama antara petani di Aceh Tamiang dengan PT Mora Niaga Jaya, pabrik bersertifikat RSPO. Proyek ini, yang difasilitasi bersama IDH Indonesia, menjadi contoh inklusif bagaimana keberlanjutan bisa diraih bersama.
“Kolaborasi ini bukan sekadar soal sertifikasi, tapi soal kemitraan jangka panjang yang adil. Kami ingin petani swadaya benar-benar naik kelas dan mendapatkan akses ke perdagangan sawit fisik yang tertelusur,” kata Windrawan.
BACA JUGA: Produksi Sawit Indonesia Menurun, Konsumsi Dalam Negeri Justru Meningkat
Di balik diskusi teknis dan strategi pasar itu, terselip satu hal yang tidak berubah: keyakinan bahwa masa depan sawit berkelanjutan harus melibatkan semua pihak, termasuk mereka yang paling dekat dengan tanah — para petani kecil. Dengan kolaborasi dan komitmen dari FONAP serta mitra global lainnya, harapan untuk sawit berkelanjutan yang adil dan inklusif perlahan mulai terwujud. (T1)