InfoSAWIT, JOHOR BAHRU — Di tengah deru tantangan global dan desakan berbagai regulasi internasional, suara-suara kecil dari pelosok desa sawit akhirnya bergema dalam satu ruang yang sama. Dari Asia Tenggara hingga Afrika Barat, dari hutan Papua Nugini hingga ladang sawit di Honduras, para petani kecil berkumpul di Johor Bahru, Malaysia, dalam gelaran International Smallholders Workshop (ISW) 2025 pada 2–3 Mei 2025 lalu.
Acara yang digagas oleh Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) ini bukan sekadar seminar. Ia menjelma menjadi forum kolaboratif yang hidup—penuh cerita, gagasan, dan semangat untuk berubah. Dengan tema “Breaking Barriers in Achieving Targeted Yield: Driving Success Through Oil Palm Replanting and GAP Adoption”, ISW 2025 membawa harapan baru bagi para petani kecil yang selama ini terseok menghadapi kebun tua, akses teknologi terbatas, hingga modal yang seret.
Rizal Affandi Lukman, Sekjen CPOPC, dalam sambutan pembukaan menegaskan bahwa petani kecil bukan pelengkap. “Mereka bagian penting dari rantai pasok sawit dunia. Implementasi regulasi seperti EUDR tidak boleh mengorbankan penghidupan mereka. Justru mereka harus dilibatkan secara adil demi keberlanjutan yang sejati,” katanya dalam keterangan resmi diterima InfoSAWIT, Selasa (6/5/2025).
BACA JUGA: Harga CPO KPBN Inacom Melorot Pada Senin (5/5), Harga Minyak Sawit di Bursa Malaysia Lesu
Lebih dari 80 peserta hadir secara langsung dari berbagai negara, termasuk Indonesia, Malaysia, Ghana, Nigeria, Myanmar, Thailand, Honduras, dan Papua Nugini. Bahkan, peserta daring dari negara-negara seperti Sri Lanka, Australia, Filipina, hingga Belanda turut bergabung, menjadikan ISW 2025 sebagai platform hibrida lintas benua yang kuat.
Hari pertama diisi dengan paparan mendalam tentang strategi peningkatan produktivitas petani. BPDPKS dari Indonesia dan MPOB dari Malaysia menyampaikan pendekatan mereka dalam program peremajaan sawit rakyat. Diskusi panel yang dimoderatori oleh Dr. Witjaksana Darmosarkoro, Direktur Keberlanjutan dan Petani Kecil CPOPC, mengupas tantangan sistemik yang menghambat produktivitas. Sementara itu, suara petani yang belum tersertifikasi juga mendapat panggung—mereka berbagi kendala dan harapan.
Sesi siang berfokus pada praktik budidaya berkelanjutan. Dari Thailand, Kelompok Usaha Masyarakat Plaipraya membagikan pengalaman transformasi mereka. Dari Honduras, Hondupalma memamerkan sistem kemitraan progresif yang melibatkan petani sebagai pemilik saham. Papua Nugini, melalui Oil Palm Industry Corporation, memperlihatkan bagaimana tata kelola perusahaan bisa bersinergi dengan petani lokal.
Yang menarik, perhatian khusus juga diberikan pada keterlibatan generasi muda. Ts. Muhamad Nazarwin Bin Zainal Abidin, Young Elaeis Ambassador dari Malaysia, memaparkan strategi menarik minat milenial ke kebun sawit. “Kami tidak ingin pertanian sawit dianggap kuno. Ini adalah masa depan jika dikelola dengan cerdas,” katanya. Sesi ini dipandu oleh Datuk Nageeb Wahab, tokoh senior dalam industri sawit Malaysia.
Puncak kegiatan terjadi di hari kedua, ketika seluruh peserta diajak terjun langsung ke lapangan—mengunjungi kebun Johor Plantation Berhad. Di sinilah teori bertemu kenyataan. Para petani melihat langsung penerapan Good Agricultural Practices (GAP), mulai dari pemangkasan daun yang rapi, penataan barisan tanaman, pengendalian gulma, hingga sistem irigasi modern di pembibitan.