InfoSAWIT, JAKARTA – “Perempuan sawit bukan hanya buruh, tapi juga penentu arah masa depan keluarga.” Kalimat itu mungkin terdengar sederhana, namun menjadi inti dari paparan Widyastutik, peneliti dari Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB University, saat mengungkap hasil kajiannya mengenai partisipasi perempuan pekerja sawit dalam pengambilan keputusan investasi rumah tangga.
Dalam dunia kerja yang umumnya dipandang maskulin, seperti di perkebunan kelapa sawit, kehadiran perempuan kerap dianggap sekadar pelengkap. Namun fakta di lapangan justru memperlihatkan hal sebaliknya. Dengan penghasilan berkisar antara Rp1,5 juta hingga Rp3 juta, para perempuan ini tidak hanya menyumbang ekonomi keluarga, tetapi juga memiliki suara penting dalam berbagai keputusan domestik — dari pendidikan anak hingga investasi jangka panjang.
“Kadang perempuan dianggap bekerja hanya untuk beli kosmetik,” ujar Widyastutik. “Padahal faktanya, mereka menyisihkan penghasilan untuk tabungan, membeli properti, bahkan modal usaha.”
BACA JUGA: Harga TBS Sawit Plasma Riau Periode 1-7 Oktober 2025 Naik Tipis
Penelitian yang dilakukan di tiga kabupaten Asahan di Sumatera Utara, Siak di Riau dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur, menunjukkan bahwa pengambilan keputusan dalam rumah tangga sebagian besar bersifat kolektif. Namun, dalam aspek-aspek tertentu seperti pengeluaran makanan, pendidikan anak, hingga tabungan, perempuan mendominasi. Di beberapa wilayah, dominasi laki-laki masih tampak kuat terutama dalam pengambilan keputusan besar, namun partisipasi perempuan perlahan menguat.
Faktor pendidikan ternyata bukan penghalang. Meski mayoritas pekerja perempuan di sektor ini hanya berlatar belakang SMP, mereka tetap memiliki posisi tawar yang kuat dalam rumah tangga karena kontribusi ekonominya signifikan.
Tercatat ada tiga motif utama perempuan pekerja sawit dalam melakukan investasi. Pertama, jaminan masa depan — mereka sadar status pekerjaan kontrak dan informal tidak memberikan perlindungan hari tua. Kedua, tabungan — sebagai pengelola keuangan rumah tangga, perempuan merasa bertanggung jawab menciptakan kestabilan ekonomi keluarga. Ketiga, dana darurat — pengalaman hidup jauh dari layanan kesehatan mendorong perempuan menyiapkan cadangan keuangan untuk kondisi tak terduga seperti sakit atau kecelakaan.
BACA JUGA: Kemenkop Dorong Hilirisasi Sawit Lewat Koperasi Sekunder Merah Putih
Bentuk investasinya pun beragam. Di samping tabungan konvensional di bank atau koperasi, sebagian perempuan mulai menyisihkan dana untuk membeli kendaraan, properti, atau bahkan menjalankan usaha kecil. Mereka memilih instrumen investasi yang likuid dan mudah diakses, mencerminkan kecermatan dalam mengelola risiko di tengah ketidakpastian hidup. (T2)