InfoSAWIT, JAKARTA – Pada 19 September 2025, Presiden Prabowo menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 (PP 45/2025) yang pada pokoknya mengatur tentang penerapan sanksi denda kepada pelaku usaha tanpa izin dalam kawasan hutan.
Perubahan dititik beratkan pada penambahan peran dan kewenangan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang sebelumnya hanya diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025. Di antara perubahan yang paling mencolok yaitu menempatkan Satgas PKH sebagai lembaga “superbody” yang memiliki kewenangan setara dengan Menteri Kehutanan dalam hal penertibangan kebun sawit dalam kawasan hutan.
Pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 (PP 24/2021)sebelum perubahan, kewenangan menetapakan subjek hukum pelaku usaha perkebunan tanpa ijin dalam kawasan hutan, identifikasi dan validasi data lapangan, penghitungan denda, penagihan denda serta penyitaan dan paksaan pemerintah sepenuhnya menjadi kewenangan Kementerian bidang Kehutanan.
BACA JUGA: Wilmar Dukung Petani Sawit Labuhanbatu Lewat Program Kebun Kemitraan
Sedangkan pada PP 45/2025, kewenangan Menteri Kehutanan tidak lagi mutlak tetapi bersifat pilihan atau opsional. Hal ini dinyatakan dalam banyak pasal perubahan, seperti pada Pasal 6 Ayat (1) dinyatakan: “Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha yang telah terbangun di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan dilakukan oleh Menteri Kehutanan dan/atau Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan.”
Penempatan frasa “dan/atau” dalam PP 45/2025 tersebut ditemukan dalam banyak pasal perubahan. Hal ini memberi isyarat bahwa secara tidak langsung dapat diasumsikan bahwa kehadiran Satgas PKH telah “mengamputasi” kewenangan Menteri Kehutanan dalam hal penertiban Sawit dalam Kawasan Hutan.
Menjadi pertanyaan menggelitik bagi publik, mengapa Presiden Prabowo seolah-olah memberi karpet merah dan kewenangan yang sangat besar pada Satgas PKH yang dominan diisi oleh orang-orang yang berlatar belakang Militer. Apakah kebijakan ini didasarkan pada hasil telaah yang matang dengan melihat kompetensi Kementerian Kehutanan yang rendah dalam melakukan tindakan eksekusi kepada pelaku usaha kebun sawit dalam kawasan hutan, sehingga dengan kehadiran Militer sebagai garda depan penertiban kawasan hutan akan lebih efektif dalam melakukan eksekusi di lapangan, atau kebijakan ini semata-mata untuk memberi peran dan ruang kepada militer dalam melaksanakan fungsi militer selain perang.
Tekanan kepada pelaku usaha
Sisi lain dari PP 45/2025 yang menjadi sorotan hangat dalam pemberitaan di berbagai media nasional belakangan ini yaitu mengenai perubahan formula menghitung besaran denda administratif yang akan dikenakan bagi pelaku usaha perkebunan sawit dalam kawasan hutan. Pada PP 24/2025, formula penghitungan denda memasukkan kerapatan tutupan hutan salah satu faktor penentu besaran denda, namun pada PP 45/2025 hal tersebut dihilangkan dan langsung ditetapkan nilai 25 juta rupiah sebagai hasil bersih per hektar per tahun sebagai faktor pengali perhutanan besaran denda.
Hal ini telah menimbulkan kecemasan luar biasa pada kalangan pelaku usaha perkebunan sawit, termasuk pekebun sawit masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan di Indonesia, mengingat terdapat sekitar 25.863 desa yang potensial terkena dampak penertiban oleh Satgas PKH.