InfoSAWIT, JAKARTA – Harga minyak sawit sampai saat ini umumnya memang masih dipengaruhi faktor fundamental, seperti permintaan (demand) dan Pasokan (supply), termasuk pergerakan harga minyak mentah dan minyak nabati lainnya.
Tentu saja faktor geopolitik juga pada akhirnya memberikan dampak, seperti terjadi pada 2022 lalu, dimana perang antara Rusia dan Ukraina, yang mana kedua negara tersebut merupakan produsen utama minyak bunga matahari, dan 70% pasar minyak bunga matahari di Uni Eropa berasal dari keduanya.
Tentu saja perang telah mengakibatkan rantai pasokan tersendat, pada akhirnya Uni Eropa selaku konsumen mengalami defisit pasokan dan ujungnya memilih untuk kembali menggunakan minyak sawit, walaupun sebelumnya Uni Eropa sangat getol mendorong industri makanan dan energi nya untuk tidak menggunakan minyak sawit.
BACA JUGA: Langkah Strategis Pemda Bengkalis Dongkrak Kesejahteraan Masyarakat
Tak hanya Uni Eropa, semua negara konsumen minyak nabati pun terkena dampaknya, sehingga kala itu harga minyak sawit pun melambung tinggi, ditambah Indonesia pada Maret 2022 melakukan penghentian ekspor akibat masalah pasokan minyak goreng di dalam negeri.
Puncaknya harga minyak sawit melambung tinggi dan tembus RM 6.000 per ton, menjadi harga tertinggi sepanjang dekade terakhir. Kenaikan harga ini membuat ekonomi negara konsumen minyak nabati kian tertekan, ditambah musibah Covid-19 masih belum tuntas diatasi saat itu.
Beberapa negara konsumen seperti India, Pakistan dan Bangladesh mulai menurunkan permintaan minyak sawit, akibat harga yang sangat tinggi. Negara-negara itu mulai menambah pasokan minyak kedelai, lantaran perbedaan harga yang tidak jauh, bahkan sempat harganya dibawah minyak sawit.
Iya, bila dunia diguncang masalah, maka kemungkinan besar minyak sawit akan memperoleh berkah dengan harga tinggi, kendati dilain pihak banyak negara akan tertekan ekonominya. Lantas bagaimana dengan harga minyak sawit kedepannya?