InfoSAWIT, PAPUA – Masyarakat Adat Kiyura dan Iwaka di Kabupaten Mimika, Papua Tengah, saat ini sedang memperjuangkan hak-hak mereka atas tanah adat yang telah mereka huni selama berabad-abad. Sejak 13 tahun terakhir, wilayah adat mereka telah dikuasai oleh perusahaan kelapa sawit PT Pusaka Agro Lestari (PAL), menyebabkan ribuan hektar hutan adat mereka habis. Hutan adat yang dulunya dipenuhi dengan keanekaragaman hayati, seperti kayu besi, merbau, lenggua, matoa, dan tumbuhan lainnya, kini telah menjadi perkebunan kelapa sawit.
Seorang tokoh Masyarakat Adat Kiyura dan Iwaka, Ratna Kameyauw mengatakan, bagaimana masyarakat menjadi miskin dan kesulitan hidup karena hutan adat yang menjadi sumber kehidupan mereka telah lenyap. “Kami sekarang dijajah di atas wilayah adat kami sendiri,” ujar Ratna seperti dilansir InfoSAWIT dari laman resmi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Rabu (25/10/2023).
Keluhan ini tidak hanya dirasakan oleh Masyarakat Adat Kiyura dan Iwaka, tetapi juga oleh Masyarakat Adat Aywu di Kabupaten Boven Digul, Papua Selatan, dan Suku Besar Wate di Kabupaten Nabire. Maraknya perkebunan kelapa sawit dan pertambangan yang bermasalah telah memicu protes dari berbagai pihak, termasuk Koalisi Peduli Masyarakat Sipil.
BACA JUGA: Langkah Strategis Pemda Bengkalis Dongkrak Kesejahteraan Masyarakat
Merespons keluhan ini, DPR Papua telah menggelar rapat dengan Pemerintah Provinsi Papua pada tanggal 18 Oktober 2023. Dalam rapat tersebut, mereka mendesak Pemerintah Provinsi Papua untuk mencabut sejumlah izin investasi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan yang bermasalah di wilayah adat Papua. Salah satu contoh yang disoroti adalah kasus PT PAL, di mana izinnya dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Papua meskipun perusahaan tersebut sudah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.
Ketua Komisi II DPR Papua, Mega Nikijuluw, menegaskan bahwa semua izin investasi yang bermasalah di wilayah adat Papua harus dicabut. Ia juga menyoroti pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi, termasuk intimidasi dan pemalsuan dokumen yang merugikan masyarakat adat.
BACA JUGA: Industri Sawit Didorong Jadi Model Pembangunan Berkelanjutan Menuju 2030
Namun, respon dari pihak berwenang, seperti Kepala Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) Papua, Solaiyen Murib Tabuni, masih menimbulkan keraguan. Meskipun diakuinya ada masalah, Solaiyen meminta waktu untuk berkoordinasi dengan dinas teknis lainnya, meninggalkan masyarakat adat dengan ketidakpastian nasib mereka. (T2)