InfoSAWIT, JAKARTA – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia telah mengambil langkah proaktif dalam menangani konflik yang melibatkan pengusaha perkebunan kelapa sawit.
Menurut KLHK, saat ini 90 persen pengusaha sawit yang terindikasi menjalankan bisnis dalam kawasan hutan telah mengurus izin mereka sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Sekretaris Jenderal KLHK, Bambang Hendroyono, menyatakan keyakinannya bahwa dalam satu sampai dua hari ke depan, semua pengusaha sawit yang terlibat dapat masuk dalam subjek hukum. Hal ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 atau lebih dikenal sebagai Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), yang mengamanatkan batas akhir penyelesaian permasalahan sawit dalam kawasan hutan pada 2 November 2023.
BACA JUGA: Harga Referensi CPO Menguat BK dan PE CPO Ditetapkan US$ 93/ton, Periode 1-15 November 2023
Ketentuan UUCK dibagi menjadi dua klaster tipologi, yaitu Pasal 110A dan Pasal 110B. Pasal 110A mencakup perkebunan kelapa sawit yang telah memiliki izin usaha perkebunan dan sesuai tata ruang pada saat izin diterbitkan, tetapi berada dalam kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi. Sementara itu, Pasal 110B mengatur penyelesaian perkebunan kelapa sawit yang sudah berdiri di dalam kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi namun tidak memiliki izin kehutanan.
“Kalimantan Tengah dan Riau mendapat perhatian besar karena memang Pasal 110 A itu kami sebut dispute ruang dan dispute regulasi,” kata Bambang seperti ditulis Antara.
Merujuk data KLHK, total luas perkebunan sawit dalam kawasan hutan di Indonesia mencapai 3,37 juta hektare. Ini mencakup sawit dalam kawasan hutan konservasi seluas 91.074 hektare, sawit dalam hutan lindung seluas 156.119 hektare, sawit dalam hutan produksi tetap seluas 501.572 hektare, sawit dalam hutan produksi terbatas seluas 1,49 juta hektare, dan sawit dalam hutan produksi konversi seluas 1,13 juta hektare.
BACA JUGA: Proyek SustainPalm, Usulan Belanda Dorong Praktik Sawit Berkelanjutan di Indonesia
Satuan Tugas Tata Kelola Sawit telah mewajibkan pelaku usaha korporasi perkebunan sawit dalam kawasan hutan untuk mendaftarkan diri melalui Sistem Informasi Perizinan Perkebunan (Siperibun) milik Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian. Pelaku usaha yang tidak mematuhi ketentuan izin berisiko menerima sanksi administratif atau bahkan sanksi pidana kehutanan.
Bambang Hendroyono menekankan bahwa prosedur yang diikuti dalam Undang-Undang Kehutanan akan memberikan legalitas pada perkebunan sawit, sehingga tidak lagi berada dalam kawasan hutan. “Prosedur yang harus diikuti dalam Undang-Undang Kehutanan memberikan legalitas nanti (perkebunan sawit) tidak lagi di kawasan hutan,” pungkas Bambang. (T2)