InfoSAWIT, JAKARTA – Narasi lama memiliki ketahanan yang luar biasa, bahkan ketika sains terus bergerak maju. Terutama dalam bidang kesehatan dan gizi, di mana perubahan terjadi dengan cepat, sering kali menggoyahkan keyakinan yang telah lama tertanam. Namun, perdebatan seputar minyak kelapa sawit menyoroti bagaimana isu tersebut dapat bertahan, bahkan ketika bukti ilmiah mengatakan sebaliknya.
Baru-baru ini, sebuah artikel telah mengangkat isu bahaya minyak kelapa sawit dengan kiasan lama yang belum terbukti kebenarannya. Beberapa penentang mengklaim bahwa kandungan kolesterol tinggi dalam minyak sawit ini menjadi kekhawatiran, meskipun penelitian telah menunjukkan bahwa asam palmitat, salah satu komponen minyak kelapa sawit, tidak signifikan memengaruhi kadar kolesterol.
Sejumlah peneliti, seperti Dr. Elena Fattore dan Dr. Roberto Fanelli dari Institut Penelitian Farmakologi Mario Negri di Milan, bahkan menyimpulkan bahwa minyak kelapa sawit tidak berpengaruh pada rasio kolesterol HDL/LDL.
BACA JUGA: Harga TBS Sawit Kalteng Periode II-April 2024 Turun Rp 190,62/Kg Cek Harganya..
Fakta lain yang penting adalah bahwa minyak kelapa sawit tidak sepenuhnya “tinggi lemak jenuh”, seperti yang banyak dituduhkan. Sebenarnya, minyak ini memiliki perbandingan seimbang antara lemak jenuh dan tak jenuh, sekitar 50/50, yang lebih baik dibandingkan dengan penggantinya yang umumnya lebih tinggi dalam lemak jenuh.
“Pengganti seperti mentega dan minyak kelapa memiliki kandungan lemak jenuh yang lebih tinggi, menjadikannya kurang seimbang dalam diet sehari-hari,” catat CEO Labrador Health, Dr Jonathan Ellen dilansir InfoSAWIT dari financialexpress.
Namun, ungkap Jonathan Ellen, penting untuk mempertimbangkan dampak lemak trans dalam konteks ini. Pada masa lalu, ketika minyak kelapa sawit dipandang berbahaya, industri makanan menggantinya dengan minyak yang terhidrogenasi parsial, menghasilkan lemak trans yang jauh lebih berbahaya bagi kesehatan.
BACA JUGA: Harga TBS Sawit Kaltim Periode II-April 2024 Turun Rp 37,07/kg, Cek Harganya..
“Ini menunjukkan bahwa keputusan berbasis isu, bukan berdasarkan ilmu pengetahuan, dapat memiliki konsekuensi yang serius bagi kesehatan publik,” katanya.