InfoSAWIT, JAKARTA – Menjamurnya pabrik kelapa sawit tanpa kebun atau yang juga dikenal dengan sebutan pabrik kelapa sawit berondolan – karena lebih suka menerima buah sawit berondolan – dalam mengolah tandan buah segar (TBS) petani di daerah-daerah, kini telah menimbulkan berbagai masalah sosial dan lingkungan, mulai dari deforestasi, konflik sosial, pelanggaran hukum, dan tidak jarang berujung kepada pencurian dan penjarahan tanaman secara masif.
Konflik sosial dan lingkungan yang terkait dengan PKS tanpa kebun bersumber dari kurangnya kerangka regulasi yang bijaksana dalam tata kelola dan mitigasi dampak sosial dan lingkungan dari PKS.
Secara normatif, perizinan PKS di sektor perkebunan kelapa sawit masih didasarkan pada aturan Permentan No. 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Dalam Pasal 7, izin usaha perkebunan terdiri dari IUP-B untuk budidaya kelapa sawit saja, IUP-P untuk pabrik kelapa sawit saja, dan IUP untuk budidaya dan pabrik kelapa sawit secara terpadu.
BACA JUGA: Saatnya Mengungkap Fakta Dugaan Negatif Kepada Minyak Sawit, yang Bisa Berujung Fatal
Meskipun prosedur untuk mendapatkan izin pabrik (IUP-P) harus dilakukan secara berjenjang di setiap tingkat pemerintahan dan dilengkapi dengan studi kelayakan teknis dan persyaratan yang sesuai. Namun, dalam lingkungan tata kelola saat ini, seringkali pabrik tanpa kebun didirikan dan beroperasi dengan izin yang diperoleh dengan cara yang meragukan, yang menimbulkan banyak pertanyaan?
Pabrik tanpa kebun menyebabkan deforestasi dan kerentanan terhadap pencurian. Kapasitas pengolahan terpasang pabrik kelapa sawit yang mengelola TBS dari hasil panen perkebunan kelapa sawit disesuaikan dengan pasokan tandan buah segar (TBS) dari perkebunannya. Sebagai contoh, sebuah pabrik dengan kapasitas terpasang 30 ton per jam setara dengan hasil panen TBS dari sekitar 3.000 hektar perkebunan kelapa sawit.
Oleh karena itu, pabrik tanpa perkebunan hanya dapat didirikan dan izinnya dapat diberikan asalkan telah menandatangani perjanjian kerja sama atau kemitraan dengan pemasok atau produsen TBS, seperti petani kecil, koperasi, atau perkebunan kelapa sawit kecil di sekitar pabrik untuk mengamankan pasokan yang memadai ke pabrik.Kapasitas terpasang pabrik tidak boleh melebihi tingkat basis pasokan yang dapat dijamin secara berkelanjutan. Kegagalan untuk mematuhi prinsip ini hanya akan menyebabkan pencurian tanaman dan dampak yang tidak diinginkan lainnya.
BACA JUGA: Harga TBS Sawit Kalteng Periode II-April 2024 Turun Rp 190,62/Kg Cek Harganya..
Selain itu, lokasi pabrik tanpa kebun harus diatur dengan jarak yang tidak terlalu dekat dengan pabrik yang memiliki kebun untuk menghindari persaingan yang tidak produktif.
Namun, seringkali terjadi pada pabrik tanpa kebun, karena kurangnya pasokan bahan baku yang stabil dan berkelanjutan, pabrik tersebut mendorong pihak-pihak oportunis yang melihat peluang pasar TBS untuk membuka lahan untuk penanaman baru atau menjarah perkebunan yang ada di sekitar wilayah operasi pabrik, yang berakibat pada penggundulan hutan dan munculnya kerentanan pencurian TBS.