InfoSAWIT, JAKARTA – Minyak sawit telah dikenal di Eropa sejak abad ke-15, namun impor dalam skala besar dimulai oleh para pedagang budak di Liverpool dan Bristol pada awal abad ke-19. Para pedagang ini telah terbiasa dengan berbagai kegunaan kelapa sawit di Afrika Barat dan secara teratur membelinya sebagai makanan bagi budak yang mereka kirim ke Amerika.
Catat dosen Senior Antropologi di Goldsmiths University sekaligus pemegang Leverhulme Major Research Fellowship (2018-21), Pauline Von Hellermann yang pertama kali ditulis di Chinadialogue –sebuah situs organisasi nirlaba yang mendorong pemahaman bersama mengenai tantangan lingkungan hidup di Tiongkok, melalui perdagangan budak, kelapa sawit juga sampai ke Martinik, di mana ia dicatat sebagai Elais Guineensis Jacq. dalam Selectarum Stirpium Americanarum Historia (1763) oleh ahli botani Prancis, Nikolaus Joseph von Jacquin.
Setelah dihapusnya perdagangan budak ke Amerika pada tahun 1807, pedagang Inggris di Afrika Barat beralih ke pasar Eropa dan sumber daya alam sebagai komoditas, terutama minyak sawit. Pada saat itu, sumber utama lemak dan minyak di Eropa utara berasal dari hewan, yang sulit untuk mendapatkan pasokan rutin. Oleh karena itu, minyak sawit menjadi sangat diminati dan “melumasi roda revolusi industri” pada awal abad ke-19.
BACA JUGA: Sawit Indonesia Ramah Anak (SIRA) untuk Papua Emas 2045
Minyak sawit digunakan sebagai pelumas industri, dalam produksi pelat timah, penerangan jalan, dan sebagai lemak semi-padat untuk pembuatan lilin dan sabun. Terobosan dalam bidang kimia, khususnya penemuan Michel Eugène Chevreul pada tahun 1823, memfasilitasi perubahan pada produksi sabun industri skala besar. Setelah teknik baru untuk memutihkan minyak sawit merah ditemukan pada tahun 1836, minyak ini menjadi bahan yang sangat menarik bagi pembuat sabun.
Jumlah penggunaan minyak sawit pun semakin besar – meningkat dari 157 metrik ton per tahun pada akhir tahun 1790an menjadi 32.480 ton pada awal tahun 1850an – dibawa ke Inggris oleh pedagang skala kecil di Afrika Barat seperti John Johnson Hamilton, yang kemudian dikenal sebagai sebagai “palm oil ruffians”.
Perdagangan ini bukan untuk mereka yang lemah. Setahun sekali, para pedagang – seringkali merupakan karyawan muda yang harus menggertakan gigi – menghabiskan waktu hingga enam minggu untuk bepergian dengan kapal kecil menuju salah satu dari banyak stasiun perdagangan di pantai Afrika Barat. Terdapat beberapa lusinan stasiun perdagangan di kawasan Oil Rivers di Delta Niger – yang sebelumnya merupakan jantung perdagangan minyak sawit di Afrika Barat.
Jumlah minyak sawit yang semakin besar dibawa ke Inggris oleh pedagang skala kecil di Afrika Barat. Perdagangan ini membutuhkan perjalanan panjang dan berbahaya, seringkali dilakukan oleh para karyawan muda yang berani. Para pedagang ini tinggal dan berdagang sepenuhnya di kapal raksasa bekas, untuk menghindari penyakit seperti malaria dan demam kuning. Mereka menunggu di kapal mereka sampai pembelian minyak sawit dari daerah produksi di pedalaman.
Berbeda dengan konsesi industri besar di Asia Tenggara, sebagian besar minyak sawit di Afrika Barat diproduksi dari hutan liar dan semi-liar. Di beberapa daerah, seperti daerah Oil Rivers di Nigeria, banyak pohon kelapa sawit liar yang dapat dipanen. Beberapa penanaman juga dilakukan sebagai respons terhadap permintaan Eropa, tetapi tidak ada transformasi besar dalam pengelolaan lahan atau ekologi.
Jejak sejarah perdagangan minyak sawit ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana minyak sawit telah menjadi komoditas penting dalam sejarah perdagangan dan industri global. (*)