InfoSAWIT, JAKARTA – Pemerintah Indonesia sedang menghadapi tantangan besar dalam mengelola produksi kelapa sawit untuk memastikan pasokan yang cukup bagi kebutuhan energi dan pangan. Ketua Umum Rumah Sawit Indonesia (RSI), Kacuk Sumarto, menekankan pentingnya penyesuaian kebijakan guna mencapai keseimbangan yang tepat.
Tercatat pada tahun 2023, produksi sawit Indonesia mencapai sekitar 52,53 juta ton. Namun, jumlah ini masih belum mencukupi jika harus memenuhi kebutuhan pangan dan energi secara bersamaan. Sumarto menjelaskan bahwa integrasi antara kebutuhan pangan dan energi memerlukan kebijakan yang matang. “Kita perlu memperhitungkan dengan cermat berapa banyak yang kita alokasikan untuk energi dan berapa untuk pangan, agar tidak terjadi kelangkaan di salah satu sektor,” ujarnya.
Kebijakan biodiesel berbahan dasar sawit 50/50 yang direncanakan pemerintah juga menjadi sorotan. Menurut Kacuk, peningkatan kebutuhan energi akan mengurangi alokasi sawit untuk pangan, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kenaikan harga. “Kebutuhan energi yang meningkat akan mengurangi alokasi untuk pangan, dan ini bisa memicu kenaikan harga,” katanya saat menjadi pembicara pada acara webinar dihadiri InfoSAWIT, ditulis Minggu (14/7/2024).
BACA JUGA: Keputusan Presiden Menambah Tugas BPDPKS untuk Kakao dan Kelapa Memicu Ketidakpuasan Petani Sawit
Selain itu, Kacuk mengingatkan bahwa ekspor produk sawit juga terpengaruh oleh kebijakan ini. Semakin banyak sawit yang digunakan untuk biodiesel, semakin sedikit yang diekspor, sehingga pungutan ekspor atau levy juga menurun. “Levy dari ekspor sawit yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) akan berkurang jika ekspor menurun,” jelasnya.
Penurunan levy ini dapat berdampak pada berbagai sektor yang bergantung pada dana tersebut, termasuk pengembangan sumber daya manusia dan infrastruktur. “Subsidi untuk biodiesel membutuhkan dana yang besar, dan jika levy berkurang, dana untuk kebutuhan lain seperti pengembangan sumber daya manusia dan infrastruktur juga akan terpengaruh,” tambah Kacuk.
Kacuk juga mengingatkan perlunya kebijakan yang seimbang antara kebutuhan domestik dan internasional. Dengan harga minyak sawit mentah (CPO) yang lebih tinggi di pasar internasional, produsen lokal harus memastikan bahwa pasokan dalam negeri tetap stabil dan harga tidak terlalu tinggi. “Pemerintah harus menghitung ulang subsidi yang dibutuhkan untuk memastikan tidak ada ketidakcukupan dalam kebijakan ini,” tegasnya.
Dalam menghadapi tantangan ini, RSI siap bekerja sama dengan pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang berkelanjutan bagi industri sawit Indonesia. “Kami siap menjadi mitra pemerintah dalam menghitung dan merumuskan kebijakan terkait biodiesel dan subsidi yang dibutuhkan,” pungkas Sumarto. (T2)