InfoSAWIT, JAKARTA – Kebijakan produk komoditas bebas deforestasi yang diterbitkan Uni Eropa (EUDR) terus bergulir, Indonesia dan Malaysia sebagai produsen terbesar minyak sawit pun meminta penerapan kebijakan tersebut mesti sesuai dengan kondisi lapangan, 5 isu telah menjadi pembahasaan. Sementara penggiat sosial mendorong EUDR berdampak positif bagi petani sawit swadaya.
Pada 6 Desember 2022, Komisi Uni Eropa menetapkan Regulasi Uni Eropa Bebas Deforestasi (EUDR) yang memberikan masa tenggang hingga awal 2025. Namun, kebijakan ini tidak segera diterapkan pada pelaku usaha UMKM di Uni Eropa, yang baru akan efektif pada Juni 2025 atau setengah tahun lebih lambat dibandingkan dengan negara lain.
Kendati demikian, Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) telah bergerak untuk menghadapi kebijakan ini. Mereka melakukan upaya bersama antara pemerintah Indonesia dan Malaysia dengan melakukan misi bersama ke Brussels. Pertemuan ini dilakukan dengan petinggi Komisi Uni Eropa untuk membahas kebijakan EUDR.
BACA JUGA: SPKS Aceh Dampingi Pengajuan PSR Untuk 5 Poktan, Seluas 4.000 ha di Aceh Timur
Dalam pertemuan kedua Ad Hoc Joint Task Force (JTF) European Union Deforestation Regulation (EUDR) berlangsung di Putrajaya, Malaysia, menjadi langkah penting dalam mengatasi tantangan dan peluang yang ditimbulkan oleh regulasi Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR).
Pertemuan ini, dipimpin bersama oleh perwakilan dari Malaysia, Indonesia, dan Komisi Eropa, bersama dengan pemangku kepentingan dari industri kelapa sawit, karet, kakao, kayu, dan kopi.
Dalam pertemuan gugus tugas bersama tersebut difokuskan pada lima workstream, yakni pertama, terkait Inklusivitas petani kecil dalam rantai pasokan, yang berfokus pada tantangan yang dihadapi petani kecil dan solusi untuk memitigasi potensi dampak penerapan EUDR.
BACA JUGA: Mewujudkan Kejayaan Agribisnis Berkelanjutan
Kedua Skema sertifikasi yang relevan (implementasi wajib), dimana membahas kesenjangan antara EUDR dan skema sertifikasi nasional.