InfoSAWIT, JAKARTA – Dalam kurun waktu 13 tahun, program sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) terus didorong untuk diterapkan pada pelaku usaha perkebunan kelapa sawit, baik perusahaan maupun petani mandiri. Namun, hingga saat ini, pencapaian sertifikasi ISPO masih jauh dari target. Dari total luas perkebunan kelapa sawit sebesar 16,38 juta hektar di Indonesia, hanya 5,84 juta hektar atau 35,6% yang telah tersertifikasi, dengan jumlah sertifikat baru mencapai 1.077.
Sejak 2019, pemerintah telah melakukan upaya prakondisi melalui kebijakan Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN KSB) yang dirancang hingga 2024. Kebijakan ini bertujuan memastikan kesiapan pelaku usaha sawit dalam penerapan mandatori ISPO. RAN KSB memberikan mandat bagi pemerintah pusat dan daerah untuk memperbaiki tata kelola perkebunan melalui serangkaian program yang didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta kerjasama multipihak.
Namun, adopsi RAN KSB di tingkat daerah masih minim. Hingga saat ini, hanya 10 provinsi dan 22 kabupaten yang telah menetapkan kebijakan terkait. Tantangan utama yang dihadapi pelaku usaha dalam mendapatkan sertifikasi ISPO di antaranya adalah tingginya biaya sertifikasi, proses yang rumit, masalah legalitas, kurangnya sosialisasi, serta keterbatasan kapasitas sumber daya manusia (SDM) dan kelembagaan. Keragaman karakteristik petani sawit di berbagai daerah juga menambah kerumitan dalam penerapan sertifikasi ISPO.
BACA JUGA: 10 Finalis Lomba Riset Sawit Tingkat Mahasiswa 2023-2024 Diumumkan, Siap Hadapi Final di Bali
Sebab itu Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (PPHbun), Prayudi Syamsuri, mengungkapkan bahwa pemerintah saat ini sedang melakukan upaya revisi terhadap regulasi terkait praktik sawit berkelanjutan di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mengatasi tantangan dalam implementasi yang dihadapi.
“Kami saat ini sedang menyusun revisi terhadap Perpres tentang ISPO melalui revisi Permentan 38 tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia, dan Perpres No 44 tahun 2020 tentang ISPO,” ujar Prayudi dalam Dialog dengan tema “Percepatan Sertifikasi ISPO Bagi Para Pelaku Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Melalui Pendekatan Yurisdiksi”, di sela acara Bunex 2024 dihadiri InfoSAWIT berlokasi di ICE BSD pada pertengahan Septembr 2024 lalu.
Menurutnya, revisi ini bertujuan untuk mempermudah pemenuhan prinsip keberlanjutan dalam praktik perkebunan kelapa sawit, sambil tetap mempertahankan integritas prinsip-prinsip tersebut. Salah satu langkah konkrit yang diambil adalah dengan menerapkan percepatan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), serta mendukung pendanaan untuk sertifikasi ISPO melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
BACA JUGA: Dorab Mistry: Produksi Sawit Indonesia Diprediksi Masih Stabil, di Malaysia Produksi CPO Naik
“Percepatan implementasi dan mencapai keseimbangan antara penyederhanaan proses dengan mempertahankan aspek keberlanjutan menjadi fokus utama kami,” tambahnya.
Prayudi juga menyampaikan bahwa pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk mengintegrasikan teknologi dalam proses verifikasi, sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam pemenuhan regulasi baru.
“Kami optimis bahwa dengan pendekatan baru ini, kita dapat lebih responsif terhadap tuntutan pasar global terhadap produk sawit berkelanjutan,” kata Prayudi. (T2)