InfoSAWIT, JAKARTA – Berdasarkan hasil survei terbaru, sekitar 15% hingga 20% pekerja panen (harvester) di perkebunan kelapa sawit yang ada di Kalimantan berasal berasal dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Hal ini disampaikan oleh Ketua Bidang Pengembangan Sumberdaya Manusia (SDM) Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Sumarjono Saragoh.
Ia mengungkapkan bahwa tenaga kerja asal NTT secara alamiah telah menjadi tulang punggung produktivitas perkebunan sawit di wilayah tersebut. “Mereka pekerja keras dan memiliki fisik yang kuat, dua hal yang sangat dibutuhkan dalam menjadi pemanen sawit yang produktif,” ujarnya. Dengan kemampuan tersebut, para pekerja asal NTT dapat memperoleh penghasilan dua hingga tiga kali lipat dari Upah Minimum Provinsi (UMP) di wilayah Kalimantan.
Namun, seiring dengan meningkatnya kebutuhan tenaga kerja, migrasi dari NTT ke Kalimantan juga menciptakan peluang bagi agen-agen perekrutan tenaga kerja. Sayangnya, sejumlah agen yang beroperasi di luar prosedur resmi sering kali merugikan pekerja, serta meningkatkan risiko terjadinya tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
BACA JUGA: Mahasiswa Kimia Universitas Jambi Ciptakan Nano-Biobriket dari Limbah Kelapa Sawit
“Situasi ini tidak hanya merugikan pekerja, tetapi juga dapat berdampak buruk pada citra industri sawit secara keseluruhan,” ungkap Sumarjono, yang dikutip InfoSAWIT, Senin (21/10/2024).
Menyikapi kondisi tersebut, Pemerintah Kabupaten Manggarai Raya (Barat, Tengah, dan Timur) di Provinsi NTT telah mengambil langkah-langkah strategis untuk memperbaiki sistem migrasi tenaga kerja ke Kalimantan.
Pemerintah setempat berinisiatif melakukan penataan dan peningkatan pengawasan terhadap proses perekrutan pekerja. Selain itu, mereka juga menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk dengan asosiasi pengusaha sawit, seperti GAPKI, untuk memastikan bahwa proses perekrutan tenaga kerja dilakukan sesuai prosedur dan menghindari pelanggaran hukum.
BACA JUGA: Ekspor Nonmigas Indonesia 2024 Tumbuh, Lampaui Capaian 2023
Langkah kolaboratif ini diharapkan mampu memberikan perlindungan lebih baik bagi tenaga kerja asal NTT serta meningkatkan citra positif industri sawit di Indonesia, yang saat ini menghadapi tantangan besar dari segi keberlanjutan dan hak asasi manusia. (T2)