InfoSAWIT, MEDAN – Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menegaskan pentingnya pemahaman mendalam terhadap regulasi untuk mencegah konflik dan gangguan usaha di sektor kelapa sawit. Hal ini disampaikan Kepala Divisi Perusahaan BPDPKS, Achmad Maulizal Sutawijaya, dalam pembukaan “Seminar Nasional dan Field Trip Mengantisipasi Gangguan Usaha dan Konflik untuk Menjaga Keberlangsungan Sawit Indonesia Berkelanjutan” di Medan.
Achmad Maulizal menjelaskan, semua pendanaan BPDPKS mengikuti aturan pemerintah, termasuk peningkatan dana Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dari Rp30 juta menjadi Rp60 juta per hektare untuk menjawab keluhan petani. Ia menambahkan, pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto sedang meninjau regulasi terkait posisi BPDPKS, terutama karena perubahan struktur kementerian, seperti Kementerian Pertanian yang kini berada di bawah koordinasi Menteri Koordinator Pangan.
“Pemahaman terhadap regulasi adalah kunci. Ketidakpahaman dapat memicu konflik. Semua pihak harus menyelaraskan pemahaman untuk mencegah perbedaan yang berujung pada masalah,” kata Maulizal dalam keterangannya diterima InfoSAWIT, Kamis (21/11/2024).
BACA JUGA: Pilkada Aceh: Ketua DPW SPKS Dukung Paslon Mualem-Dek Fad untuk Kemajuan Petani Kelapa Sawit Swadaya
Sementara, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Ditjen Perkebunan, Prayudi Syamsuri, menyatakan kelapa sawit memiliki karakter unik karena luas lahan perusahaan dan rakyat hampir seimbang. Berbeda dengan komoditas lain seperti karet atau kopi yang mayoritas dikelola rakyat, sawit menghadirkan dua kekuatan ekonomi yang berpotensi memunculkan konflik di tingkat tapak.
“Kita perlu sistem peringatan dini untuk mencegah konflik yang bisa berdampak pada ekonomi dan sosial dengan biaya tinggi,” ujar Prayudi
Ia juga menyoroti pentingnya program Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) yang bertujuan menjaga keseimbangan ekonomi dan sosial. Ketidakpatuhan terhadap regulasi ini sering menjadi sumber gangguan usaha.
Regulasi untuk Keberlanjutan Sawit
Hadi Dafenta, Ketua Kelompok Hukum, Perizinan, dan Humas Ditjen Perkebunan, menjelaskan bahwa ada 25 regulasi yang mengatur industri sawit, termasuk pemenuhan hak atas tanah, FPKM, dan kebutuhan bahan baku, diantaranya, Pemenuhan Hak atas Tanah: Berdasarkan UU No. 39 Tahun 2014, kegiatan usaha perkebunan hanya bisa dilakukan jika perusahaan memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dan Izin Usaha Perkebunan (IUP). Perubahan UU No. 6 Tahun 2023 mempertegas hal ini untuk mencegah konflik legalitas.
Lantas, FPKM: Aturan ini dibagi menjadi tiga fase berdasarkan periode izin usaha, dengan kewajiban berbeda, seperti kemitraan dengan masyarakat atau kegiatan usaha produktif. Serta Kebutuhan Bahan Baku: Berdasarkan Permentan 98/2013 jo 21/2017, Pabrik Kelapa Sawit (PKS) harus memiliki bahan baku 20% dari kebun yang diusahakan sendiri atau melalui kerjasama.
Seminar yang diadakan Media Perkebunan bersama BPDPKS ini juga menjadi ajang berbagi pengalaman untuk mengatasi konflik. Acara dilanjutkan dengan kunjungan ke Museum Perkebunan Indonesia untuk menggali pelajaran sejarah industri perkebunan.
BACA JUGA: Petani Sawit di Tapanuli Selatan Suarakan Ketidakadilan Mengenai Harga TBS Sawit
Hendra J. Purba, Pemimpin Usaha Media Perkebunan, mengatakan bahwa konflik di industri sawit sering terjadi karena perbedaan pemahaman regulasi. “Melalui seminar ini, kami berharap dapat mendorong kolaborasi untuk menjaga keberlanjutan sawit Indonesia,” pungkasnya.
Langkah-langkah ini menjadi bukti komitmen BPDPKS dan pemangku kepentingan dalam mendukung keberlanjutan sawit sebagai komoditas strategis nasional. (T2)