InfoSAWIT, JAKARTA– Presiden Prabowo Subianto menempatkan pencapaian kemandirian pangan dan energi sebagai prioritas utama dalam pembangunan ekonomi selama empat hingga lima tahun mendatang. Langkah ini dipandang sebagai kunci untuk meningkatkan kesejahteraan bagi 280 juta penduduk Indonesia.
Presiden secara konsisten melihat peran strategis kelapa sawit dalam mewujudkan ketahanan energi dan pangan. Ia berkomitmen untuk mendorong industri kelapa sawit agar mencapai target produksi jangka panjang sebesar 100 juta ton per tahun pada 2045, dua kali lipat dari produksi tahunan saat ini yang berkisar 50 juta ton.
Selain itu, Prabowo berkomitmen meningkatkan kadar campuran kelapa sawit dalam biodiesel menjadi 40 persen (B40) dari level saat ini 35 persen (B35). Pada tahun lalu, penggunaan kelapa sawit dalam biodiesel menyumbang 46 persen dari total konsumsi, diikuti industri pangan (44 persen) dan oleokimia (10 persen).
Langkah Presiden untuk memperkuat produksi sawit dianggap tepat mengingat kontribusi besar komoditas ini terhadap ekonomi. Direktur Jenderal Agroindustri Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika, menyebutkan pada konferensi bisnis di Jakarta bulan lalu bahwa industri kelapa sawit menyumbang 3,5 persen terhadap PDB Indonesia pada 2023, menyediakan lapangan kerja bagi 17 juta orang, dan melibatkan lebih dari 5 juta pemegang saham.
Lebih lanjut, Ardika menjelaskan bahwa pusat-pusat pertumbuhan industri sawit kini telah meluas dari Jawa ke Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Sawit juga menjadi komoditas terdepan dalam hilirisasi dengan digunakan dalam 193 proses manufaktur.
Para agronom dan pelaku industri percaya bahwa rencana menggandakan produksi sawit masih memungkinkan secara teknis dan ramah lingkungan. Banyak lahan terdegradasi yang dapat dikonversi menjadi perkebunan tanpa menyentuh hutan primer.
BACA JUGA: Sinar Mas Perkuat Dukungan Pada Rantai Pasok Sawit Melalui Pendampingan Komprehensif
Namun, kebijakan strategis Prabowo untuk menjadikan industri kelapa sawit sebagai proyek nasional strategis masih ditunggu. Koordinasi antar-kementerian sangat penting, mengingat industri ini melibatkan kementerian pertanian, industri, energi, lingkungan hidup, perdagangan, kehutanan, agraria, dan tata ruang.
Pengalaman buruk pada 2022, ketika kebijakan intervensi pasar seperti harga eceran tertinggi, kewajiban pasar domestik (DMO), hingga larangan total ekspor minyak sawit diberlakukan, menunjukkan kurangnya koordinasi pemerintah dalam mengelola industri ini. Krisis minyak goreng yang terjadi kala itu mempertegas perlunya badan otoritatif tunggal untuk mengelola industri kelapa sawit.
Ketidakpastian kebijakan dan otoritas yang tumpang tindih menjadi hambatan utama dalam tata kelola sawit. Padahal, potensi ekspansi perkebunan berkelanjutan sangat besar, dan persepsi internasional terhadap komoditas ini semakin positif.
BACA JUGA: Melalui Sawit Terampil, Sinar Mas Hantarkan Petani Sawit Swadaya KJSLJ Peroleh Sertifikat RSPO
Asosiasi Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menegaskan bahwa masih banyak lahan terdegradasi yang dapat dimanfaatkan tanpa menimbulkan persaingan antara kebutuhan pangan dan energi. Sebuah studi dari University of Maryland juga menunjukkan adanya jutaan hektar lahan terdeforestasi sebelum 2020 yang dapat digunakan.
Kabar baik lainnya datang dari Uni Eropa, yang menunda penerapan regulasi bebas deforestasi hingga akhir tahun. Selain itu, Hannah Ritchie dari Our World in Data menggambarkan sawit sebagai tanaman produktif luar biasa yang menghasilkan lebih banyak minyak per hektar dibandingkan tanaman lain seperti kedelai atau kelapa.
Dengan produktivitas tinggi ini, sawit berpotensi melindungi hutan dan habitat alami dari ancaman pembukaan lahan untuk tanaman kurang efisien. Harapannya, Presiden Prabowo segera mengeluarkan panduan strategis untuk menjadikan sawit pilar ketahanan pangan dan energi nasional, dengan mengintegrasikan tata kelola industri dan memastikan standar keberlanjutan tinggi. (*)