InfoSAWIT, JAKARTA – Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Ateng Sutisna, menyatakan dukungannya terhadap rekomendasi Ombudsman RI terkait penyelesaian tumpang tindih lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan. Ia menilai rekomendasi tersebut sebagai langkah penting dalam memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit nasional.
“Hasil kajian ini memperlihatkan bukti dan fakta bahwa tata kelola industri kelapa sawit masih memerlukan continuous improvement. Oleh karena itu, saya mendesak Kementerian ATR/BPN untuk segera melakukan inventarisasi dan identifikasi tumpang tindih HGU sawit dengan kawasan hutan,” ujar Ateng dalam keterangaannya dikutip InfoSAWIT, Kamis (5/12/2024).
Menurut Ateng, tumpang tindih lahan sawit dengan kawasan hutan merupakan masalah yang telah berlangsung lama. Data dari Ombudsman RI menunjukkan bahwa terdapat 3,22 juta hektar lahan sawit yang tumpang tindih dengan kawasan hutan, melibatkan 2.172 perusahaan dan 1.063 koperasi atau kelompok tani.
BACA JUGA: Sinar Mas Perkuat Dukungan Pada Rantai Pasok Sawit Melalui Pendampingan Komprehensif
Sumber lain mencatat angka yang lebih tinggi, yaitu 3,5 juta hektar. Dari jumlah tersebut, hanya 7% yang telah diselesaikan melalui mekanisme Pasal 110A Undang-Undang Cipta Kerja. Sisanya, lebih dari 93%, masih belum terselesaikan.
Ateng menyoroti bahwa ketidakpastian status lahan ini tidak hanya menghambat pelaksanaan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) tetapi juga sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Ia menyebut bahwa pendataan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) masih sangat rendah, yakni hanya mencapai 1,54% dari total pekebun sawit rakyat.
“Status lahan yang tidak jelas mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi petani dan perusahaan, sehingga perlu langkah cepat dan terkoordinasi,” tegasnya.
BACA JUGA: Harga TBS Sawit Sumut Periode 4-10 Desember 2024 Naik Rp 135,38/Kg
Rekomendasi Solusi
Ateng mengusulkan beberapa langkah konkret yang harus dilakukan pemerintah, antara lain, Inventarisasi dan Verifikasi Data, melalui pellibatan Kementerian ATR/BPN, Kementerian Kehutanan, dan pemerintah daerah untuk mengidentifikasi dan memverifikasi data tumpang tindih lahan sawit dengan kawasan hutan.
Kemudian, Afirmasi Hak Atas Tanah (HAT), melalui pengakuan dan mengesahkan hak atas tanah yang telah memenuhi syarat kepemilikan. Lantas, Percepatan Proses Perizinan, dengan memastikan dokumen perizinan seperti STDB dapat diproses cepat dan transparan. Selanjutnya, Penyelesaian melalui Pasal 110A dan 110B, dengan menggunakan mekanisme hukum yang ada untuk menyelesaikan konflik secara adil dan transparan. Serta Koordinasi Antarkementerian, melalui peningkatan kerja sama dengan Kementerian Kehutanan untuk menyelaraskan kebijakan dan regulasi pengelolaan lahan.
Ateng menekankan bahwa penyelesaian tumpang tindih lahan sangat penting untuk menjamin keberlanjutan industri sawit dan kepastian hukum bagi petani maupun perusahaan. “Masalah ini tidak hanya menyangkut ekonomi, tetapi juga keadilan dan kelestarian lingkungan,” tutupnya. (T2)