InfoSAWIT, JAKARTA – Perkumpulan Pemantau Sawit (PPS) mengajukan uji materi terhadap Pasal 12A, Pasal 17A, dan Pasal 110B Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H), yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Mereka berpendapat bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga merugikan secara konstitusional kelompok masyarakat rentan dan pekebun sawit kecil.
Dalam sidang pendahuluan di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (24/12), kuasa hukum PPS, Arif Suherman, menyatakan bahwa regulasi tersebut menghambat upaya menciptakan perkebunan sawit berkelanjutan yang bebas deforestasi. “Ketentuan ini tidak berpihak pada masyarakat adat dan pekebun sawit skala kecil,” ujarnya dikutip InfoSAWIT, Jumat (27/12/2024).
PPS menilai pemberlakuan sanksi administratif dalam UU P3H hanya menjadi upaya pemutihan bagi perusahaan besar yang beroperasi di dalam kawasan hutan. Nurhanudin Achmad, Koordinator Badan Pengurus PPS, menegaskan bahwa kebijakan ini cenderung memberikan keuntungan bagi korporasi besar, tanpa memberikan solusi konkret bagi masyarakat adat dan pekebun kecil yang telah lama hidup di kawasan hutan.
BACA JUGA: Dirut PalmCo: Sawit Penopang Ekonomi Bangsa dan Ketahanan Nasional
Pemohon juga menyoroti ketentuan yang mewajibkan masyarakat adat dan pekebun untuk terdaftar dalam kebijakan penataan kawasan hutan. Menurut mereka, ini berpotensi menimbulkan tindakan represif oleh pemerintah terhadap mereka yang belum terdaftar. “Pemerintah seharusnya bertindak persuasif dengan melakukan pendaftaran proaktif bagi masyarakat adat,” tambah Arif.
Dalam petitum, PPS meminta MK menyatakan sejumlah ketentuan dalam Pasal 12A, Pasal 17A, dan Pasal 110B UU P3H bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Mereka juga meminta Mahkamah menafsirkan ulang pasal-pasal tersebut agar lebih berpihak pada keadilan sosial dan perlindungan hukum bagi masyarakat adat dan pekebun kecil.
Nasihat Hakim
Majelis Hakim Panel yang diketuai oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah memberikan waktu 14 hari kepada PPS untuk memperbaiki permohonan. Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyarankan agar PPS memperkuat legal standing dengan melampirkan bukti kegiatan advokasi yang telah dilakukan.
BACA JUGA: Pemda Bengkulu Selatan Targetkan Pendataan Kebun Sawit Rakyat di Atas 50 Persen pada 2025
“Kegiatan advokasi perlu diuraikan secara jelas untuk memperkuat kedudukan hukum pemohon,” kata Daniel. Hakim Ridwan Mansyur juga mengingatkan PPS untuk berhati-hati dalam menjelaskan implikasi pasal-pasal tersebut terhadap masyarakat adat.
Sidang lanjutan akan digelar setelah batas waktu perbaikan berkas, yakni 6 Januari 2025. Perkara ini menjadi perhatian banyak pihak, mengingat dampaknya terhadap kebijakan keberlanjutan sawit dan perlindungan masyarakat adat. (T2)