InfoSAWIT, JAKARTA — Meskipun telah berkembang selama ratusan tahun, industri perkebunan sawit di Indonesia masih diwarnai praktik eksploitatif dan tantangan perlindungan terhadap buruh. Hal ini ditegaskan oleh Jaringan Solidaritas Transnasional Buruh Sawit (Transnational Palm Oil Labour Solidarity Network/TPOLS) dalam laporan akhir tahun yang mengangkat kondisi buruh kebun dan dampaknya terhadap masyarakat sekitar.
Struktur kerja di perkebunan sawit hingga kini masih mengadopsi pola-pola lama yang dianggap warisan kolonialisme, seperti penggunaan istilah Afdeling atau Komidel. Namun, meski sektor ini menyerap jutaan tenaga kerja, buruh perkebunan sering kali menghadapi ketidakadilan, termasuk upah rendah dan kondisi kerja yang buruk.
Dalam keterangan resmi diterima InfoSAWIT, Sabtu, (28/12/2024), Rizal Assalam, Koordinator TPOLS, mengungkapkan temuan mereka menunjukkan enam masalah utama yang terus terjadi sepanjang 2024, upah rendah dan kondisi kerja buruk, eksploitasi gender dan kondisi kerja berbahaya, manipulasi sertifikasi RSPO dan audit.
BACA JUGA: Harga Minyak Sawit di Bursa Malaysia Catatkan Keuntungan Mingguan, Didorong Harga Murah
Lantas, konflik tanah akibat ekspansi perkebunan, penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan, serta Pembatasan kebebasan berserikat.
Regulasi nasional seperti UU Cipta Kerja dinilai memperkuat praktik eksploitatif melalui legitimasi hukum atas perekrutan buruh kasual dan sistem upah berbasis satuan hasil. Sekretaris Jenderal KPBI, Damar Panca, mengkritik UU ini karena tidak memberikan perlindungan memadai kepada buruh.
Di tingkat global, regulasi seperti European Union Deforestation Regulation (EUDR) dan Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CSDDD) memunculkan perdebatan. Hotler “Zidane” Parsaoran dari Sawit Watch menegaskan bahwa tanpa mekanisme perlindungan buruh yang jelas, regulasi internasional hanya akan memperparah ketimpangan.
BACA JUGA: Tumpang Sari Padi Gogo di Lahan Sawit, Langkah Kalsel Menuju Swasembada Pangan
Sawit Watch dan TPOLS mendesak pemerintah untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit. Menurut Zidane, kebutuhan fisik buruh kebun jauh lebih tinggi dibanding sektor lain, sementara fasilitas dasar seperti sanitasi, air bersih, dan layanan kesehatan masih minim.
Sebagai langkah awal, TPOLS menerbitkan Deklarasi Sambas, yang menyerukan keadilan sosial dan ekologi di perkebunan sawit. Deklarasi ini menjadi panduan untuk membangun sistem yang lebih adil, baik bagi buruh maupun masyarakat sekitar kebun.
Dengan tantangan yang ada, transisi menuju industri sawit berkelanjutan tidak hanya membutuhkan reformasi regulasi, tetapi juga komitmen untuk memastikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat. (T2)