InfoSAWIT, JAKARTA — Pemerintah Indonesia memperkirakan program biodiesel B40, yang bertujuan mengurangi ketergantungan pada impor solar, akan sepenuhnya diterapkan mulai bulan depan setelah mengalami penundaan di awal tahun. Hal ini disampaikan oleh Eniya Listiani Dewi, pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dalam konferensi pers.
Menurut Eniya, distribusi biodiesel berbasis minyak sawit (B40) hingga Jumat ini telah mencapai sekitar 1,2 juta kiloliter (kl). Rencana awal peluncuran wajib B40—yang mengandung 40% bahan bakar nabati dari minyak sawit—seharusnya dimulai pada 1 Januari 2024. Namun, penundaan terjadi akibat persoalan regulasi dan proses transisi yang diberikan kepada distributor hingga akhir Februari.
“Tidak akan ada perpanjangan periode transisi. Semua pihak sedang berupaya memenuhi target,” tegas Eniya. Sebelumnya, Indonesia menerapkan campuran biodiesel 35% (B35) sejak 2023.
BACA JUGA: Pengelolaan Perkebunan Sawit di Kawasan Hutan, Agroforestri Solusinya
Implementasi B40 menjadi sorotan pelaku pasar minyak sawit global, mengingat kebijakan ini akan memengaruhi permintaan domestik terhadap minyak sawit untuk sektor energi dan potensi dampaknya terhadap ekspor. Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia.
Pada 2025, pemerintah mengalokasikan 15,6 juta kl biodiesel untuk distribusi, meningkat dari sekitar 13 juta kl pada tahun lalu. Peningkatan volume ini berpotensi memerlukan subsidi lebih besar untuk menutup selisih harga antara minyak sawit dan solar.
Sementara sebelumnya Manajer Industrialisasi Sales Pertamina Patra Niaga, Samuel Hamonangan Lubis, disela acara International Conference on Oil Palm and Environment (ICOPE) Series 2025 mengakui sejumlah tantangan. Pertama, skala ekonomi produksi biodiesel yang belum optimal meski pemerintah memberikan insentif bagi petani dan produsen. Kedua, kendala teknis seperti adaptasi mesin kendaraan terhadap campuran biodiesel tinggi. “Isu teknis masih menjadi penghambat, terutama untuk mencapai B50 dan seterusnya,” jelasnya.
BACA JUGA: IUCN Ingatkan Ekspansi Sawit Mesti Hati-Hati, Jangan Sampai Korbankan Hutan
Data Pertamina menunjukkan realisasi penggunaan biodiesel meningkat signifikan, dari 9,4 juta kiloliter (2021) menjadi 15,61 juta kiloliter di 2025. Pada 2026, diproyeksikan mencapai 19,52 juta kiloliter dengan nilai sekitar Rp290 triliun. “Ini peluang besar bagi petani sawit dan produsen, tapi harga harus tetap kompetitif,” tegas Samuel.
Lantas persoalan harga biodiesel dinilai krusial. Saat ini, harga biodiesel berkisar Rp22.650–Rp22.900 per liter, jauh lebih tinggi dibandingkan solar biasa seperti Dexlite (Rp14.600/liter) dan Pertamina Dex (Rp14.800/liter). “Pelanggan mengeluhkan harga. Produsen harus mencari solusi agar biodiesel tetap terjangkau. Industri tidak bisa menunggu,” tandasnya. (T2)