InfoSAWIT, BALI – Konferensi Internasional tentang Kelapa Sawit dan Lingkungan (International Conference on Oil Palm & Environment/ICOPE) 2025 menyoroti praktik intercropping atau tumpang sari sebagai strategi utama dalam transformasi agro-ekologis perkebunan kelapa sawit. Acara yang berlangsung di Bali Beach Convention, Sanur, Bali, ini mengangkat tema “Oil Palm Agro-Ecological Transformation: Towards Climate- and Nature-Positive Agriculture”.
Praktik tumpang sari dalam perkebunan sawit telah terbukti meningkatkan pendapatan petani, menjaga kesehatan tanah, serta mendukung keanekaragaman hayati. Namun, tantangan utama yang dibahas dalam konferensi ini adalah bagaimana mengadopsi sistem ini secara luas dan berkelanjutan.
Salah satu temuan penting dalam konferensi ini dipaparkan oleh Aritta Suwarno dari Wageningen University, Belanda. Dalam risetnya di Bengkulu, tumpang sari kelapa sawit dengan pisang diterapkan pada lahan seluas 50 ribu hektare. Sebanyak 112 pohon pisang ditanam per hektare, yang dalam 12 bulan sudah dapat dipanen. Pisang dipilih karena memiliki pasar yang luas dan permintaan yang stabil.
BACA JUGA: Ketua DPRD Kotawaringin Timur Desak Penindakan Perusahaan Sawit Tanpa HGU
“Tumpang sari dengan pisang menciptakan peluang bisnis baru yang lebih adil antara petani dan perusahaan, serta mengurangi ketergantungan petani hanya pada sawit,” ujar Aritta.
Selain pisang, penelitian juga menunjukkan bahwa tumpang sari dengan semangka memiliki potensi besar. Semangka memiliki siklus panen lebih cepat, hanya 65 hari setelah tanam, sehingga menjadi alternatif pendapatan yang lebih cepat bagi petani. Saat ini, sekitar 150 hektare lahan sawit di Bengkulu telah dimanfaatkan untuk budidaya semangka dengan hasil yang menjanjikan.
“Kami juga menghubungkan petani sawit dengan petani semangka untuk kemitraan yang saling menguntungkan, termasuk pendanaan dan akses pasar,” tambah tim peneliti.
BACA JUGA: PT Dharma Satya Nusantara Tbk Catatkan Laba Bersih Rp1,1 Triliun pada 2024
Alternatif Kopi di Perkebunan Sawit
Selain pisang dan semangka, penelitian juga menemukan bahwa kopi dapat menjadi opsi tumpang sari jangka panjang di perkebunan sawit. Percobaan di Kalimantan menunjukkan hasil yang cukup positif ketika kopi ditanam di antara pohon sawit.
Meski berpotensi menguntungkan, tantangan utama dari sistem tumpang sari ini adalah minimnya panduan bagi petani. Banyak petani sawit masih terbiasa dengan sistem monokultur dan memerlukan bimbingan dalam mengadopsi tumpang sari secara efektif.
“Tumpang sari bisa menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan petani sekaligus menjaga keberlanjutan perkebunan sawit. Namun, harus ada skema yang jelas, termasuk dukungan pembiayaan dan jaminan pasar bagi petani,” tambah Aritta.
BACA JUGA: DPRD Sekadau Bahas Raperda Tata Niaga dan Retribusi TBS Kelapa Sawit
Para peneliti dan pemangku kepentingan dalam ICOPE 2025 mendorong adanya regulasi serta dukungan lebih luas bagi sistem tumpang sari. Diharapkan, pemerintah dan sektor swasta dapat bekerja sama untuk menyediakan akses lebih baik bagi petani dalam hal informasi, pembiayaan, dan pasar.
Dengan adopsi sistem intercropping yang lebih luas, industri kelapa sawit Indonesia tidak hanya dapat meningkatkan kesejahteraan petani, tetapi juga berkontribusi pada pertanian yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. (T2)