Produksi Sawit Terancam: Perlukah Negara Mengambil Alih?

oleh -2601 Dilihat
Editor: Redaksi InfoSAWIT
InfoSAWIT
Dok. InfoSAWIT/Ilustrasi perkebunan kelapa sawit.

InfoSAWIT, JAKARTA – Pemerintah tengah melakukan penertiban besar-besaran terhadap perkebunan sawit yang berada dalam kawasan hutan. Langkah ini didasarkan pada Keputusan Menteri Kehutanan No. 36 Tahun 2025 dan Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2025, yang memberikan legitimasi kepada institusi negara seperti Kementerian Pertahanan, Kejaksaan Agung, dan kepolisian untuk menertibkan kawasan hutan yang dikuasai tanpa izin kehutanan. Namun, di balik kebijakan ini, muncul pertanyaan besar: apakah pengambilalihan ini akan membawa dampak positif atau justru merugikan industri sawit nasional?

Sejarah menunjukkan bahwa negara tidak selalu menjadi pengelola yang baik dalam sektor perkebunan. Sebagai contoh, pengelolaan kebun sitaan PT Duta Palma seluas 210.000 hektare kini berada di tangan Agrinas, yang kini disulap menjadi salah satu BUMN sawit terbesar. Jika seluruh perkebunan seluas 317.000 hektare yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga dikelola oleh Agrinas, maka perusahaan ini akan menjadi raksasa sawit nasional, bahkan berpotensi menyaingi PTPN. Namun, apakah pengelolaan oleh negara bisa lebih baik dibandingkan swasta?

Tahun 2024 lalu, produksi sawit Indonesia tercatat hanya 52 juta ton, lebih rendah dari 54 juta ton pada 2023. Ekspor pun menurun menjadi 29 juta ton dari sebelumnya 32 juta ton. Jika perkebunan sawit yang ditertibkan seluas 317.000 hektare tidak segera dikelola dengan baik, produksi CPO bisa berkurang hingga 1,3 juta ton. Jika pemerintah bersikap agresif dengan mengambil alih seluruh 3,4 juta hektare perkebunan di kawasan hutan tanpa strategi yang matang, produksi CPO nasional bisa anjlok hingga 13,6 juta ton. Dengan kata lain, produksi CPO yang semula diperkirakan mencapai 48 juta ton di tahun 2025 bisa merosot hingga 35 juta ton.

BACA JUGA: ANJ Catat Kenaikan Laba Bersih 106,7% di 2024, Targetkan Produksi CPO Naik 15% di 2025

Dampak dari penurunan produksi ini bukan hanya pada sektor perkebunan, tetapi juga industri biodiesel yang tengah didorong oleh pemerintah. Untuk mendukung program B40, setidaknya dibutuhkan 15 juta ton minyak sawit. Jika produksi menurun, maka pasokan untuk biodiesel akan terganggu, ekspor akan turun, dan devisa negara pun akan terdampak. Tahun 2024, devisa dari ekspor sawit mencapai 27,76 miliar dolar AS atau sekitar Rp440 triliun. Jika produksi terus menurun, devisa dari sawit di 2025 dipastikan akan lebih rendah. Ditambah lagi, kebijakan pemerintah yang menaikkan pajak dan pungutan ekspor hingga 230 USD per metrik ton justru bisa memperburuk keadaan.

Seharusnya, pemerintah mempertimbangkan kebijakan ini dengan matang. BUMN yang mengelola sumber daya alam, termasuk sawit, telah berulang kali menghadapi permasalahan manajerial, termasuk korupsi dan rendahnya produktivitas. Jika pengambilalihan ini dilakukan tanpa strategi yang jelas, bukan tidak mungkin negara justru akan merugikan dirinya sendiri. Jangan sampai kebijakan ini hanya menjadi upaya “merebut kue” tanpa memperhitungkan dampaknya, yang justru bisa berujung pada “sakit perut” bagi perekonomian nasional. (*)

Penulis: Mansuetus Darto, Pengamat Sawit

Disclaimer: Artikel merupakan pendapat pribadi, dan sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis serta tidak ada kaitannya dengan InfoSAWIT.

InfoSAWIT

Dapatkan update berita seputar harga TBS, CPO, biodiesel dan industri kelapa sawit setiap hari dengan bergabung di Grup Telegram "InfoSAWIT - News Update", caranya klik link InfoSAWIT-News Update, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Bisa juga IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS.


Atau ikuti saluran Whatsapp "InfoSAWIT News", caranya klik link InfoSAWIT News dan Group Whatsapp di InfoSAWIT News Update

Untuk informasi langganan dan Iklan silahkan WhatsApp ke Marketing InfoSAWIT_01 dan Marketing InfoSAWIT_02 atau email ke sawit.magazine@gmail.com