InfoSAWIT, JAKARTA – Dalam bentang alam yang luas dan kaya akan keanekaragaman hayati, Indonesia menempati peringkat ketiga dunia yang memiliki luas hutan hujan dan peringkat kedua dalam keanekaragaman hayati. Lebih dari 65% wilayah daratan Indonesia, atau sekitar 125 juta hektare, ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Nasional yang terdiri dari hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi di bawah pengelolaan Kementerian Kehutanan.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, M. Saparis Soedarjanto, menekankan bahwa pengelolaan hutan membutuhkan pendekatan multidimensional. “Ekstraksi dan berbagai aktivitas pemanfaatan harus dilakukan dengan mempertimbangkan lanskap, langkah-langkah konservasi, dan kesejahteraan masyarakat,” ungkapnya.
Sejak dahulu, masyarakat Indonesia telah menggantungkan hidup pada hutan. Pada tahun 1970-an, sumber daya hutan menjadi salah satu tulang punggung pembangunan nasional. Penebangan kayu meningkat pesat untuk mendukung industrialisasi dan pembangunan infrastruktur. Seiring waktu, beberapa lahan bekas tebangan dialihfungsikan menjadi hutan tanaman industri dan perkebunan kelapa sawit.
BACA JUGA: Nissin Food Dorong Praktik Sawit Ramah Lingkungan di Indonesia
Menurut Undang-Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999, hutan didefinisikan sebagai ekosistem yang didominasi oleh komunitas pohon dalam suatu bentang alam. Baik hutan maupun perkebunan kelapa sawit memiliki peran penting dalam menjaga keanekaragaman hayati, mendukung perekonomian lokal dan global, serta menyediakan berbagai jasa lingkungan.
Sejatinya perkebunan kelapa sawit telah menjadi sektor utama dalam perekonomian Indonesia selama beberapa dekade terakhir. Dengan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 1,25% per tahun antara 2010-2020, kebutuhan akan lahan semakin meningkat, yang pada gilirannya berkontribusi terhadap deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan pencemaran lingkungan.
Saparis menegaskan bahwa kunci keberlanjutan terletak pada integrasi. “Perkebunan kelapa sawit harus mengadopsi pendekatan yang lebih holistik, mengintegrasikan budidaya kelapa sawit dengan ekosistem alami seperti hutan,” jelasnya. Salah satu solusi adalah sistem agroforestri, di mana kelapa sawit dikombinasikan dengan tanaman produktif lainnya dan konservasi keanekaragaman hayati dilakukan dengan membangun koridor satwa liar untuk menghubungkan fragmen hutan yang terpisah.
BACA JUGA: FPKBL dan RSPO Hadirkan Malam Batik Ramah Lingkungan di INACRAFT 2025
Kementerian Kehutanan juga menilai bahwa integrasi Hutan Bernilai Konservasi Tinggi (High Conservation Value Forests/HCVF) dalam perkebunan kelapa sawit merupakan langkah strategis. “HCVF harus dikembangkan dengan kesadaran bahwa hutan memiliki nilai ekologis, sosial, dan budaya yang perlu diperhatikan dan dilindungi,” ujar Saparis.
Integrasi hutan dan kelapa sawit memerlukan perencanaan yang cermat serta mempertimbangkan faktor-faktor seperti jenis tanah, iklim, dan keanekaragaman hayati lokal. Pemantauan dan evaluasi terus-menerus juga diperlukan untuk menilai efektivitas strategi ini dan melakukan penyesuaian yang diperlukan.
“Dengan menerapkan praktik konservasi keanekaragaman hayati dan mengadopsi strategi keberlanjutan, kita dapat memperoleh manfaat ekonomi dari kelapa sawit sekaligus menjaga lingkungan bagi generasi mendatang,” tegas Saparis. (*)