InfoSAWIT, JAKARTA – Penundaan selama 90 hari oleh Pemerintah Amerika Serikat terhadap penerapan tarif resiprokal seharusnya menjadi peluang emas bagi Indonesia. Pemerintah didesak untuk segera memanfaatkan waktu tersebut dengan melakukan negosiasi tarif yang menguntungkan agar sektor kelapa sawit nasional, khususnya petani swadaya, tidak semakin tertekan.
Ketua Yayasan Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan (FORTASBI), Sutiyana, menyebut bahwa dalam jangka pendek, fokus utama pemerintah harus pada penyelamatan harga tandan buah segar (TBS) petani sawit swadaya. Namun, untuk jangka panjang, yang lebih penting adalah membangun kekuatan hilirisasi sawit di tingkat petani.
“Jangan sampai kita selalu gagap setiap kali ada kebijakan global yang tidak terduga. Kuncinya ada pada hilirisasi. Petani harus diberi peran, jangan hanya perusahaan besar yang bisa,” ujarnya kepada InfoSAWIT, Sabtu (25/4/2025).
BACA JUGA: Tarif Resiprokal Trump Ancam Ekspor Sawit, Petani Swadaya Bisa Terdampak Berat
Hilirisasi di tingkat petani, menurutnya, menjadi solusi konkret agar petani tidak hanya bergantung pada ekspor bahan mentah, tetapi juga mampu menciptakan nilai tambah di dalam negeri. Hal ini penting untuk menjaga daya saing, kesejahteraan petani, dan ketahanan ekonomi desa dalam menghadapi gejolak global.
Namun demikian, Sutiyana menyoroti belum adanya kebijakan nyata dari pemerintah yang benar-benar memberikan ruang dan fasilitas kepada petani swadaya untuk masuk ke sektor hilir. Ia menilai, perang dagang dan kenaikan tarif seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai titik balik kebijakan nasional.
“Pemerintah bisa memberikan insentif, kemudahan pajak dan non-pajak, bahkan mempercepat perizinan serta deregulasi aturan agar petani berani memulai,” tegasnya.
BACA JUGA: Penegakan Aturan Hutan vs Stabilitas Kredit, Sektor Sawit Jadi Titik Rawan Perbankan
Berbagai akses pendanaan juga bisa digerakkan untuk mendukung hilirisasi, seperti Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit, dana hibah dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), hingga dana bergulir dari LPDB-KUMKM dan Lembaga Keuangan Mikro. Kredit perbankan berbunga rendah pun bisa diarahkan kepada koperasi tani atau kelompok tani sawit yang dikelola secara profesional.
Sutiyana menggarisbawahi bahwa kelompok tani sawit selama ini sudah terbukti sebagai penggerak utama ekonomi desa. “Mereka bukan hanya siap, tapi sangat mampu jika diberi kepercayaan dan dukungan. Saatnya petani naik kelas, tidak sekadar menjual TBS,” katanya.
Ia menutup pernyataannya dengan seruan tegas agar pemerintah segera bertindak nyata di tengah tantangan perdagangan global yang semakin kompleks. “Waktu 90 hari ini sangat menentukan arah masa depan sawit kita, terutama nasib petani swadaya. Jangan disia-siakan.” (T1)