InfoSAWIT, JAKARTA – Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Transisi Bersih mengecam keras skandal suap dalam kasus korupsi izin ekspor crude palm oil (CPO) yang menyeret Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan tiga hakim lainnya. Skandal ini dinilai memperlihatkan rapuhnya integritas lembaga peradilan sekaligus memperdalam krisis tata kelola industri sawit di Indonesia.
Kasus suap senilai Rp60 miliar yang bertujuan membebaskan korporasi sawit dari jerat hukum dinilai sebagai kemunduran serius dalam upaya reformasi sektor kelapa sawit. Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Refki Saputra, menilai kasus ini sebagai bukti praktik sistematis oleh korporasi besar untuk menghindari tanggung jawab hukum, sekaligus sorotan terhadap lemahnya reformasi birokrasi di sektor tata ruang dan perizinan.
“Putusan (lepas) itu ada loophole besar. Uang suap Rp60 miliar itu harus diusut tuntas. Dari mana asalnya? Apakah hanya dari satu perusahaan?” kata Refki dalam media briefing dipantau InfoSAWIT, Senin (28/4/2025).
BACA JUGA: Harga CPO KPBN Inacom Naik Pada Selasa (29/4), Harga Minyak Sawit di Bursa Malaysia Lesu
Refki juga mengkritik kecenderungan pemerintah mengambil jalan pintas, seperti dalam pengalihan kebun sawit di kawasan hutan ke BUMN, tanpa menyelesaikan akar masalah tata kelola.
Dari sisi internal perusahaan, praktisi sawit Mansuetus Darto mengungkap bahwa praktik manipulasi data, penggunaan perusahaan fiktif, hingga suap kepada pemangku kepentingan masih marak, meskipun korporasi seperti Wilmar dan Musim Mas telah memiliki komitmen anti korupsi dan keberlanjutan.
“Komitmen itu hanya sebatas di atas kertas. Faktanya, korupsi tetap terjadi. Ada sesuatu yang salah dalam penerapannya,” ujar Darto.
BACA JUGA: Harga TBS Sawit Plasma Riau Periode 30 April – 6 Mei 2025 Turun Rp 18,94 per ton
Sementara itu, Manajer Kampanye Satya Bumi, Sayyidaatihayaa Afra, menegaskan bahwa komitmen No-Deforestation, No Peat, No Exploitation (NDPE) yang kerap dijadikan slogan, nyatanya kosong belaka. Ia bahkan menyoroti lemahnya respons dari inisiatif sertifikasi seperti RSPO, ISPO, dan mekanisme EUDR dalam menghadapi kasus ini.
“Korupsi ini menyabotase setiap upaya menuju tata kelola lingkungan yang berkelanjutan. Kalau serius, sertifikasi mereka harus dicabut,” tegas Hayaa.
Kasus ini juga menjadi sinyal keras bagi lembaga peradilan. Menurut akademisi STH Jentera, Grahat Nagara, skandal ini menunjukkan masih kuatnya mafia peradilan hingga ke level Mahkamah Agung, sementara mekanisme pengawasan internal seperti Komisi Yudisial dinilai belum efektif.
BACA JUGA: TAPG Tegaskan Komitmen Keberlanjutan Lewat RUPST 2025
“Kejadian ini mempermalukan lembaga hukum kita. Sudah terlalu banyak kasus korupsi di pengadilan, tapi respons Mahkamah Agung sangat lemah,” tegas Grahat.
Koalisi mendesak pembenahan menyeluruh terhadap sektor peradilan dan tata kelola sumber daya alam, mengingat kasus ini bukan hanya tentang korupsi individu, tetapi menunjukkan kegagalan sistemik dalam menjaga keadilan dan keberlanjutan di Indonesia. (T2)