InfoSAWIT, PONTIANAK — Suasana ruang pertemuan di Hotel Neo Pontianak terasa lebih dari sekadar formalitas sebuah workshop. Ada semangat baru yang lahir dari pertemuan para pemangku kepentingan dalam Workshop Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Bisnis dan HAM, sebuah inisiatif penting untuk menanamkan prinsip keadilan dalam praktik bisnis, terutama di sektor perkebunan sawit yang menjadi denyut ekonomi Kalimantan Barat.
Di hadapan peserta yang berasal dari perusahaan sawit, buruh, perwakilan BP2MI, hingga pemerintah daerah, Kepala Sekretariat Komnas HAM Kalimantan Barat, Nelly Yusnita, membuka kegiatan sekaligus menyampaikan pesan penting. “Implementasi prinsip bisnis dan HAM di sektor sawit di provinsi ini bukan hanya tentang keuntungan ekonomi, tapi juga soal menjaga lingkungan hidup, melindungi hak pekerja, dan menghindarkan komunitas lokal dari eksploitasi,” ucapnya dilansir InfoSAWIT dari laman Komnas HAM, Rabu (30/4/2025).
Isu HAM dalam bisnis sawit memang bukan hal baru, tapi pembahasan hari itu terasa berbeda karena menyatukan banyak suara. Hadir sebagai narasumber, Yoan Febriawan dari Ditreskrimumsus Polda Kalimantan Barat menyoroti peran kepolisian dalam perlindungan tenaga kerja. “Sejak Januari 2025, kami luncurkan desk ketenagakerjaan agar masalah-masalah yang selama ini terabaikan bisa cepat ditangani. Banyak perkara yang tertunda karena saling lempar tanggung jawab,” tegasnya.
BACA JUGA: UMKM Sawit Yogyakarta Didorong Melek Digital, INSTIPER Jadi Tuan Rumah Workshop Nasional
Diskusi mengalir dari peran lembaga hingga ke legislasi. Ketua Komisi I DPRD Kalbar, Rasmidi, menyuarakan pentingnya regulasi daerah yang berpihak kepada buruh sawit. “DPRD bisa membentuk Perda inisiatif tentang Tenaga Kerja agar hak-hak mereka tidak lagi diabaikan,” katanya.
Namun di balik semua gagasan besar, masih tampak jelas tantangan yang dihadapi para buruh sawit. Direktur Eksekutif Teraju Indonesia, Agus Sutomo, mengungkapkan berbagai persoalan klasik yang belum kunjung usai. “Buruh kita masih menghadapi ketiadaan kontrak kerja, upah yang tidak layak, kondisi kerja berbahaya, dan minimnya perlindungan sosial,” ungkapnya dengan nada prihatin.
Meski begitu, harapan tidak padam. Dari forum ini, sejumlah rekomendasi konkret mengemuka: mulai dari reformasi kontrak kerja, peningkatan upah dan insentif, perbaikan sistem Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), hingga penguatan perlindungan sosial.
BACA JUGA: Aspekpir Dukung Percepatan Program Peremajaan Sawit Rakyat, Usul Lakukan Pemetaan PSR
Nelly menutup sesi dengan penekanan pada tanggung jawab perusahaan dalam membangun keadilan sosial. “Mereka harus libatkan komunitas lokal dalam proses konsultasi dan menjaga agar bisnisnya tidak merusak wilayah adat atau merampas ekosistem,” tegasnya.
Dari Kalbar, suara HAM menggema—mengingatkan semua pihak bahwa keberlanjutan bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal kemanusiaan. Di Kalimantan Barat, langkah kecil ini bisa menjadi pijakan menuju perubahan besar. (T2)