Sawit di Tengah Paradoks: Ketika Buruh Didorong Maju, Tapi Lahannya Ditarik Mundur

oleh -3450 Dilihat
Editor: Redaksi InfoSAWIT
InfoSAWIT
Dok. InfoSAWIT/ Sumarjono Saragih, Ketua Bidang SDM Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan pendiri Worker Initiatives for Sustainable Palm Oil (WISPO).

InfoSAWIT, JAKARTA –Di tengah semangat peringatan Hari Buruh Internasional, suara dari sektor kelapa sawit—industri andalan nasional dengan nilai mencapai Rp600 triliun per tahun—menggema dengan nada getir. Bukan soal upah, bukan pula soal produktivitas. Tapi soal sesuatu yang lebih mendasar: kepastian hukum.

Sumarjono Saragih, Ketua Bidang SDM Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan pendiri Worker Initiatives for Sustainable Palm Oil (WISPO), dalam sebuah acara peringatan May Day, bukan untuk sekadar menyuarakan kebanggaan atas kontribusi industri sawit. Ia membawa “berita buruk” yang menurutnya perlu segera dihadapi dengan kepala dingin.

“Benarkah pembicara sebelumnya sudah mengkonfirmasi—bagaimana dengan kelapa sawit? Kita bukan hanya terhimpit dan menjerit,” katanya dalam Diskusi May Day 2025 Konfederasi Sarbumusi, bertajuk “Ekonomi Menghimpit, Buruh Menjerit”. Ia menggambarkan kondisi industri sawit seperti pesawat besar yang mengalami turbulensi hebat di ketinggian, tanpa tanda-tanda akan segera menemukan udara yang tenang.

BACA JUGA: Keberadaan Minyak Goreng Kita Jadi Parameter Suplai CPO Nasional?

Masalahnya bukan sekadar ekonomi, melainkan menyangkut hukum dan legitimasi. Sumarjono menyebut bahwa tantangan terbesar industri ini saat ini adalah ketidakpastian hukum, terutama terkait status kawasan hutan yang kini menyeret sekitar 3 juta hektare lahan sawit ke dalam ketidakjelasan. Ironisnya, sebagian besar lahan tersebut telah memiliki izin resmi dan telah dikelola selama bertahun-tahun, baik oleh petani maupun korporasi.

“Kalau benar ini kawasan hutan, lalu selama ini apa yang dilakukan oleh pemilik kebun? Dibiarkan?” tanyanya.

Tanda-tanda yang dipasang pemerintah—plang bertuliskan “disita negara”—membuat situasi semakin rumit. Sebab jika benar seluruh 3 juta hektare itu ditarik kembali ke kawasan hutan, maka akan ada 3 juta hektare sawit yang tidak bisa dipanen, tidak bisa dijual, dan tidak bisa disertifikasi sebagai produk berkelanjutan. Dampaknya? Potensi kehilangan produksi sebesar 9 juta ton minyak sawit mentah (CPO), atau sekitar 18% dari total produksi nasional.

BACA JUGA: Impian Sembilan Marga di Ulilin, Papua Selatan Terwujud, Kebun Sawit Plasma itu Seluas 4.600 Hektar

Ironi lain yang diangkat Sumarjono adalah upaya besar-besaran GAPKI bersama 10 federasi serikat buruh, termasuk Sarbumusi, dalam membangun platform bipartit demi perlindungan pekerja sawit. Upaya ini bahkan dipuji oleh International Labour Organization (ILO), karena dianggap mampu mendorong kepatuhan dan perlindungan buruh di sektor yang sangat kompleks.

“Ketika kita bersemangat memperbaiki kesejahteraan buruh, tiba-tiba datang kebijakan yang mencemaskan. Lahan tempat mereka bekerja justru ditarik statusnya,” ujarnya.

Jika analogi satu hektare sawit setara dengan satu tenaga kerja digunakan, maka potensi hilangnya 3 juta hektare bisa berarti kehilangan 3 juta lapangan kerja. Bukan hal kecil, terutama di daerah-daerah yang sangat bergantung pada perkebunan sawit sebagai satu-satunya sumber penghidupan. (T2)

InfoSAWIT

Dapatkan update berita seputar harga TBS, CPO, biodiesel dan industri kelapa sawit setiap hari dengan bergabung di Grup Telegram "InfoSAWIT - News Update", caranya klik link InfoSAWIT-News Update, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Bisa juga IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS.


Atau ikuti saluran Whatsapp "InfoSAWIT News", caranya klik link InfoSAWIT News dan Group Whatsapp di InfoSAWIT News Update

Untuk informasi langganan dan Iklan silahkan WhatsApp ke Marketing InfoSAWIT_01 dan Marketing InfoSAWIT_02 atau email ke sawit.magazine@gmail.com