InfoSAWIT, JAKARTA – Industri Perkebunan Sawit dan Pertambangan mendapat tempat yang istimewa dalam kebijakan pemerintah melalui Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya yang dimuat dalam Pasal 110A dan Pasal 110B yang kemudian diterjemahkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan (PP 24/2021).
Keistimewaan tersebut ditunjukan dengan adanya “pengampunan” dari jerat pidana yang ada dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan (UU Kehutanan) maupun dalam UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Perberlakuan sanksi pidana dalam kedua undang-undang tersebut telah diganti dengan kewajiban membayar denda, dengan ketentuan bagi yang memenuhi unsur pelanggaran Pasal 110A akan dijerat dengan kewajiban membayar PSDH-DR (Pungutan Sumber Daya Hutan – Dana Reboisasi) yang dihitung berdasarkan potensi tegakan kayu hasil interpretasi peta citra satelit pada waktu sebelum kawasan hutan dibuka untuk perkebunan sawit atau pertambangan.
Sedangkan bagi pelanggaran tidak pidana kehutanan yang memenuhi unsur Pasal 110B, karena tidak telah membuka kawasan hutan tanpa izin kehutanan dan melanggaran peruntukan tata ruang diwajibkan membayar denda berupa PNBP (Penerimaaan Negara Bukan Pajak) yang rumus perhitungannya diatur dalam PP 24/2021. Pernyataan kesediaan membayar PSDHD-DR dan denda PNBP hanya berlaku hingga 23 Desember 2023, dan jika tidak maka akan dikenakan sanksi hingga sepuluh kali lipat atau diberlakukan kembali sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU Kehutanan dan UU P3H.
BACA JUGA: Berikut 3 Program Ditjebun Untuk Tata Kelola Sawit Terintegrasi
Setiap perusahaan perkebunan dan pertambangan yang teridentifikasi melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa izin kehutanan sebagaimana dimaksud Pasal 110A dan Pasal 110 UU Cipta kerja, akan masuk dalam radar “pengampunan” pidana setelah ditetapkan dalam keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mengatur tentang subyek hukum pelaku usaha tanpa izin dalam kawasan hutan. Hingga 5 April 2023 Menteri telah menerbitkan 12 surat keputusan berisi 2.701 subjek hukum pelaku usaha korporasi, koperasi, perorangan dan masyarakat, serta lembaga negara yang membuka kawasan hutan tanpa izin. Provinsi terbanyak dalam Provinsi Riau, dengan jumlah 1.058 subyek hukum, dengan 476 subyek hukum merupakan korporasi perkebunan sawit dan pertambangan.
Kebijakan “pengampunan” pidana ini sekilas memberikan karpet merah bagi pelaku usaha nakal, namun pada sisi lain menunjukkan lemahnya pengawasan dan tata kelola perijinan sektor kehutanan, serta rendahnya kepatuhan dari pelaku usaha. Peraturan perundang-undangan di berbagai bidang sesungguhnya telah memberikan rambu-rambu tentang tata cara, tahapan dan jenis perijinanan yang wajib diperoleh sebelum melakukan kegiatan usaha dalam kawasan hutan, tapi nyatanya banyak yang terabaikan sehingga menimbulkan potensi kerugian negara di sektor kehutanan. Kebijakan “pengampunan” pidana melalui pasal 110A dan pasal 110B UUCK ini berupaya mengembalikan kerugian negara tersebut.
Transparansi Tersumbat
Kebijakan pengampunan pidana kehutanan ini dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Penegakan Hukum Pidana Direktorat Jenderal Penegakan Hukum. Menteri membentuk Tim Terpadu pengampunan Pasal 110A dan 110B yang bertanggungjawab menindaklanjuti permohonan pengampunan dari pelaku usaha perkebunan dan pertambangan. Dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI pada 13 Juni lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, menyatakan bahwa target dari denda yang didapat dari pengampunaN pidana kehutanan akan mengembalikan kerugian negara sesear 50 Triliun pada tahun ini, dan pengananan denda pengampuan telah diambil alih oleh Satuan Tugas (Satgas) Tata Kelola Kelapa Sawit yang dibentuk Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, yang dipimpin langsung oleh Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan.
BACA JUGA: FGD Sawit Berkelanjutan #12: Tata Kelola Sawit Indonesia Diperbaiki Melalui RAN-KSB
Namun, terlepas dari pemindahan tanggungjawab kepada Satgas Tata Kelola Sawit tersebut, selama penanganan pengampunan dikerjakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pelaksanaannya sangat tertutup, bahkan minim keterlibatan dari Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan kehutanan. Hampir tidak ada publikasi resmi Kementerian yang menyampaikan siapa-siapa saja subyek hukum yang akan diberi pengampunan pidana berupa pembayaran sanksi denda PSDH-DR dan denda PNBP tersebut.
Dalam banyak kesempatan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan bahwa secara nasional terdapat seluas 3,3 juta hektar kegiatan usaha tanpa izin dalam kawasan hutan. Jika dari luas tersebut nilai sanksi denda dihitung menggunakan rumus yang diatur dalam PP 24/2022, maka potensi penerimaan negara akan mencapai puluhan bahkan ratusan triliyun rupiah. Angka itu didapat apabila setiap satu hektar usaha tanpa izin akan dikenakan denda 15 juta – 50 juta, maka potensi penerimaan negara dari PSDH-DR dan PNBP yang akan didapat berkisar 49,5 triliyun sampai 165 triliyun.