InfoSAWIT, JAKARTA – Sejak dikelola komersil tahun 1911 silam, perkebunan kelapa sawit di Indonesia, mengalami pertumbuhan yang menjanjikan. Pasalnya, jaman kolonial Belanda, perkebunan kelapa sawit telah mendapat perhatian serius, sebagai bagian dari komoditas minyak nabati dunia.
Tahun 2022 silam, tepatnya pengembangan komersil kelapa sawit telah memasuki usia 111 tahun, sebuah angka yang sangat istimewa “triple one”. Di usianya yang sudah lanjut, memang banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Pekerjaan terbesar kebun sawit, memang di perkebunan kelapa sawit milik petani sawit.
Merujuk data Menko Perekonomian RI, akhir 2023 lalu, luas perkebunan kelapa sawit nasional telah mencapai 15,32 juta hektar. Dimana, perkebunan kelapa sawit rakyat mencapai 40,51% atau seluas 6,21 juta hektar. Diperkirakan, kebun sawit rakyat menghasilkan produksi sebesar lebih dari 16 juta ton di tahun 2022.
BACA JUGA: Petani Sawit anggota SPKS dan BPDPKS Dorong Hilirisasi Produk Sawit Melalui Koperasi
Guna meningkatkan produktivitas kebun sawit rakyat tersebut, maka Pemerintah Indonesia mendorong program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagai informasi, pada periode 2017 hingga 2023 silam, kebun sawit rakyat yang diremajkan mencapai 306 ribu hektar, dimana kebun sawit petani mencapai 134 ribu hektar dengan total dana yang disalurkan mencapai Rp. 8,5 Triliun.
Disinilah, peranan masyarakat sebagai petani sawit harus lebih ditingkatkan. Pasalnya, sejak medio tahun 1980 an silam, pemberdayaan masyarakat telah populer dilakukan di Indonesia. Paska pengembangan Perkebunan Inti Rakyat dengan pola Transmigrasi (PIR-Trans), maka peranan perusahaan perkebunan sebagai penjamin (avalis) pada kemitraan bersama petani sawit, banyak menghadapi tantangan baru.
Kendati pemberdayaan sebagai sebuah konsep pemikiran sudah berkembang sejak tahun 1970an, namun kemunculan pemberdayaan masyarakat baru berkembang bersamaan dengan pemikiran aliran lainnya, seperti eksistensialisme, phenomenologi, personalisme dan berbagai kritik sosial lainnya. Menjadikan pemberdayaan lebih dekat dengan neoMarxisme, Freudianisme, Strukturalisme dan sosiologi kritik Frakfurt School.
BACA JUGA: Derom Bangun Luncurkan Buku Baru, Sumbang Inspirasi dan Pembelajaran Bagi Sawit di Indonesia
Sebab itu, konsep pemberdayaan telah melebur menjadi sebuah satu kesatuan konsep universal yang bertujuan mengurangi tingkat kemiskinan yang diadopsi pula oleh lembaga-lembaga pemerintah di dunia, termasuk Pemerintah Indonesia. Sebab itu, melalui pemberdayaan petani sawit yang didukung kolaborasi multi pihak, akan mendorong kesejahteraan bagi petani sawit di masa depan.