InfoSAWIT, JAKARAT – Proses pemutihan sawit kembali menjadi perhatian. Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo, mengungkapkan kekhawatiran mendalam terkait minimnya transparansi dalam program tersebut.
Meski Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) telah mengizinkan publikasi proses pemutihan sawit, akses terhadap informasi masih sangat terbatas. “Kami telah mengajukan surat resmi untuk meminta data ke KLHK, namun tidak ada tanggapan positif. Ini memicu kekhawatiran adanya potensi praktik korupsi,” ujar Achmad dalam keterangannya dikutip InfoSAWIT, Senin (14/10/2024).
Kekhawatiran semakin kuat paska Mahkamah Agung (MA) menolak uji materiil terkait Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2021 pada Desember 2023. Achmad menyebut, dari 3.690 subjek hukum yang seharusnya menerima sanksi, hanya segelintir yang mendapatkan pelepasan kawasan hutan atau dikenakan sanksi administratif. “Dari ribuan kasus, hanya 17 yang mendapatkan pelepasan kawasan dan 35 subjek yang dikenai sanksi administratif. Ini tidak maksimal,” katanya.
BACA JUGA: Kejagung Geledah Kantor KLHK, Dugaan Korupsi Pemutihan Sawit Mencuat
Lebih lanjut, total denda yang telah dibayarkan mencapai Rp 239 miliar, dengan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sebesar Rp 61 miliar, serta Dana Reboisasi (DR) yang sangat minim, hanya Rp 13 juta. Angka ini memunculkan kecurigaan bahwa proses pemutihan ini tidak berjalan sesuai harapan dan mungkin melibatkan praktik suap atau gratifikasi.
Ahmad Zazali, Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA), turut memperkuat kritik dengan menyoroti lambatnya penyelesaian kasus pemutihan sawit. Dari 1.192 subjek hukum yang diminta melengkapi data, hanya 240 yang merespons, dan hanya 15 di antaranya yang membayar denda. Zazali juga menekankan pentingnya keterbukaan informasi, terutama dalam mengungkap siapa yang telah diputihkan dan berapa besar denda yang telah dibayarkan.
“Publik berhak mengetahui informasi ini. Kami menduga ada suap dan gratifikasi terkait besaran denda yang ditetapkan,” ujarnya. Proses yang lambat dan minimnya transparansi justru membuka ruang untuk korupsi lebih lanjut.
BACA JUGA: Pertemuan Ketiga Gugus Tugas EUDR: Sepakat Bakal Dilakukan Training of Trainers Untuk EUDR
Sementara itu, Gunawan, Penasihat Senior IHCS, menyatakan perlunya evaluasi terhadap putusan MA dan regulasi yang digunakan sebagai dasar hukum. Menurutnya, Undang-Undang Cipta Kerja yang menjadi landasan program pemutihan sawit telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga perlu adanya tinjauan ulang. “Proses ini harus diperbaiki agar tidak menjadi celah baru untuk korupsi,” tegasnya.
Penggeledahan yang dilakukan Kejaksaan Agung di kantor Kementerian LHK pada 3 Oktober 2024 juga menjadi bagian dari investigasi lebih lanjut terkait dugaan korupsi tata kelola perkebunan sawit ilegal. Langkah ini diharapkan dapat membuka lembaran baru dalam penegakan hukum sektor sawit dan memberikan sinyal positif untuk perbaikan tata kelola di masa depan. (T2)