InfoSAWIT, SERUYAN – Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Progress Kalteng, WALHI Kalteng, YMKL, YBBI, dan TuK INDONESIA, menyampaikan keprihatinan terkait praktik perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Seruyan. Temuan ini diungkapkan dalam laporan bertajuk “Sertifikasi Berbasis Yurisdiksi di Kabupaten Seruyan untuk Siapa?” yang merespons pencapaian penyusunan dokumen Sertifikasi Yurisdiksi yang akan dipresentasikan dalam pertemuan RSPO pada 2024.
Laporan ini mengungkap sejumlah temuan, seperti penanaman sawit di kawasan hutan, ketidakadilan dalam pembangunan kebun plasma, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Menurut Manager Advokasi WALHI Kalteng, Janang Firman Palanungkai, analisis data menunjukkan bahwa dari 312.450 hektare perkebunan sawit di Seruyan, sekitar 132.207 hektare berada di dalam kawasan hutan yang dikelola oleh 30 perusahaan. “Perluasan perkebunan sawit ini telah merusak lingkungan dan berdampak pada kawasan hutan,” ujarnya dalam keterangan resmi diterima InfoSAWIT, Rabu (13/11/2024).
Janang juga menegaskan bahwa Sertifikasi Yurisdiksi tidak boleh menjadi upaya “greenwashing” bagi perusahaan yang masih melakukan praktik ilegal. Ia menyebutkan, banyak aktivitas perusahaan yang melanggar hukum dan merugikan negara serta lingkungan, terutama di kawasan hutan. “Sebaiknya, persoalan perizinan diselesaikan sebelum melanjutkan sertifikasi ke RSPO,” katanya.
BACA JUGA: SMART SPOT Dukung Pemasok Terapkan Praktik Sawit berkelanjutan di Siak-Pelalawan
Laporan koalisi juga meyinggung isu sosial di sekitar perkebunan sawit. Direktur PROGRESS, Kartika Sari, menyatakan bahwa masyarakat setempat masih berjuang untuk mendapatkan kebun plasma, upah layak, dan jaminan kesehatan. Menurut Kartika, banyak masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan sawit justru bekerja sebagai buruh lepas dengan upah di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) tanpa jaminan kesehatan. “Investasi yang masuk seharusnya membuat masyarakat sejahtera, namun kenyataannya mereka justru merasakan dampak negatif dari perkebunan sawit,” ujarnya.
Di Kabupaten Seruyan, konflik agraria antara warga dan perusahaan sawit sering kali berakhir dengan tindakan hukum. Kepala Departemen Advokasi TuK INDONESIA, Abdul Haris, menungkapkan konflik lahan yang berulang akibat pengambilan lahan tanpa persetujuan warga. “Tanpa adanya persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (FPIC) dalam pengambilan lahan di masa lalu, konflik terus terjadi. Situasi ini bahkan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, seperti yang dialami Gijik di Desa Bangkal pada Oktober 2023,” ungkap Abdul.
Abdul juga mengkritik lemahnya pengawasan lembaga keuangan terhadap pendanaan sektor sawit yang berisiko merusak lingkungan. “Perkebunan sawit memiliki kontribusi signifikan dalam percepatan perubahan iklim. Pengawasan pembiayaan harus diperketat agar masalah serupa di Seruyan tidak terulang di tempat lain,” tambahnya.
Menurut Djayu dari YMKL, prinsip dan kriteria RSPO dalam sertifikasi kelapa sawit belum efektif melindungi hak masyarakat adat dan lokal. “Konflik bertambah sementara konflik lama belum tuntas. RSPO perlu mengevaluasi dampak sertifikasi yang saat ini belum mendorong perubahan perilaku bisnis di sektor perkebunan sawit,” ujar Djayu.
Koalisi masyarakat sipil mendesak agar Sertifikasi Yurisdiksi RSPO tidak hanya dijadikan label tanpa mempertimbangkan dampak nyata di lapangan. Pendekatan ini diharapkan melibatkan masyarakat dalam proses sertifikasi untuk menciptakan industri kelapa sawit yang lebih adil dan berkelanjutan di Kabupaten Seruyan. (T2)