InfoSAWIT, JAKARTA — Pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai pembukaan perkebunan sawit yang dianggap tidak menyebabkan deforestasi karena memiliki daun memicu kritik luas. Ucapan ini dianggap tidak berdasarkan sains, pengetahuan, dan riset yang memadai. Padahal, data resmi pemerintah menunjukkan sebaliknya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam rilisnya pada tahun 2022 telah menegaskan bahwa kelapa sawit bukan tanaman hutan. KLHK juga merinci berbagai dampak negatif dari praktik perkebunan sawit yang ekspansif, monokultur, dan tidak sesuai prosedur di kawasan hutan, termasuk masalah hukum, ekologis, hidrologis, dan sosial.
“Pernyataan Presiden Prabowo tidak didukung oleh data dan fakta yang diterbitkan pemerintah sendiri,” kata Manager Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional WALHI, Uli Arta Siagian, dalam ketereangan resmi dikutip InfoSAWIT, Jumat (3/1/2025).
BACA JUGA: Indonesia Tunda Peluncuran Kebijakan Biodiesel B40, Industri Sawit Menanti Kejelasan
Berdasarkan data KLHK, terdapat sekitar 3,2 juta hektar sawit ilegal dalam kawasan hutan. Angka ini menunjukkan skala besar deforestasi yang telah terjadi akibat ekspansi sawit.
Lebih lanjut, Uli menyoroti dampak lanjutan dari ekspansi sawit skala besar, termasuk polusi, kerusakan sungai, krisis air, banjir, longsor, dan kebakaran hutan. “Kerugian ini ditanggung oleh rakyat dan lingkungan,” tegasnya.
Pernyataan Prabowo yang meminta aparat polisi dan tentara untuk menjaga perkebunan sawit turut menuai kecaman. Pernyataan ini dianggap berisiko melegitimasi pendekatan keamanan dalam penyelesaian konflik agraria.
BACA JUGA: Harga TBS Sawit Kaltim Periode II-Desember 2024 Naik Rp 112,83 Per Kg
“Selama ini, aparat keamanan cenderung berpihak kepada perusahaan yang berkonflik agraria dengan masyarakat. Tidak jarang terjadi intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap masyarakat,” ujar Uli. Ia menambahkan bahwa instruksi tersebut dapat memperburuk situasi konflik agraria dan meningkatkan kasus kekerasan terhadap masyarakat.
Ekspansi perkebunan sawit skala besar diperkirakan akan memperparah konflik agraria, kerusakan lingkungan, bencana ekologis, dan korupsi di sektor sawit. Aktivis dan organisasi lingkungan mendesak pemerintah untuk mengedepankan pendekatan berbasis data dan fakta serta memastikan kebijakan yang berorientasi pada keberlanjutan dan perlindungan masyarakat.
“Pernyataan semacam ini semestinya didasarkan pada riset dan fakta ilmiah, bukan sekadar opini yang berpotensi menyesatkan publik,” tutup Uli. (T2)