InfoSAWIT, KUALA LUMPUR – Industri minyak sawit Malaysia menunjukkan ketangguhan di tengah ketidakpastian global, terutama berkat permintaan berkelanjutan dari pasar utama seperti Tiongkok dan India. Namun, para pengamat memperingatkan bahwa sektor ini tetap menghadapi berbagai risiko yang dapat mengganggu stabilitasnya, mulai dari perubahan iklim hingga kebijakan perdagangan internasional.
Analis ekonomi Dr. Zulkufli Zakaria mengungkapkan perubahan iklim sebagai salah satu tantangan paling mendesak. Cuaca yang tidak menentu seperti banjir dan kekeringan terus berdampak pada produksi sawit. “Meskipun berbagai inisiatif telah dilakukan, dampaknya belum sepenuhnya teratasi. Tapi, adopsi bertahap terhadap praktik ketahanan iklim menunjukkan langkah positif dari industri,” ujarnya dilansir InfoSAWIT dari Business Times, Jumat, (11/4/2025).
Ia juga menyinggung dampak dari Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang mengharuskan importir menjamin bahwa produk mereka bebas dari praktik deforestasi. Menurutnya, regulasi ini bisa menjadi beban besar, terutama bagi petani kecil, dan dapat mempersulit ekspor ke pasar Eropa. “Malaysia perlu merespons tantangan ini dengan pendekatan strategis untuk mempertahankan posisinya di rantai pasok global,” tambahnya.
BACA JUGA: Kolaborasi PT AAN, SPKS, dan SMART Terapkan Program Petani Sawit Terampil di Sekadau
Tantangan dari Perubahan Preferensi Konsumen
Dr. Zulkufli juga mencatat bahwa pergeseran preferensi konsumen yang semakin sadar kesehatan bisa menekan permintaan terhadap minyak sawit. “Agar tetap kompetitif, Malaysia harus mengenali dan menyesuaikan diri dengan tren konsumen ini,” katanya.
Sementara itu, Tiongkok tetap menjadi pasar yang menjanjikan bagi minyak sawit Malaysia. Meskipun volume impor keseluruhan menurun, negara tersebut masih sangat bergantung pada minyak sawit untuk berbagai industri, khususnya makanan.
“Industri mi instan, misalnya, sangat bergantung pada minyak kelapa sawit—sekitar 75% dari produksinya menggunakan komoditas ini. Dengan konsumsi mi instan mencapai 40 miliar bungkus per tahun, porsi minyak sawit yang digunakan di sektor ini sangat signifikan,” jelas Zulkufli.
BACA JUGA: Harga TBS Sawit Jambi Periode 11-17 April 2025 Turun Rp67,41 per Kg
Namun, ia memperingatkan bahwa fluktuasi harga global bisa memengaruhi keputusan impor Tiongkok. “Jika harga minyak sawit terlalu tinggi, Tiongkok berpotensi beralih ke minyak kedelai atau alternatif lainnya,” katanya.
Seorang analis perkebunan menambahkan bahwa pemulihan ekonomi Tiongkok pascapandemi turut mendorong peningkatan konsumsi produk olahan dan kosmetik, yang banyak menggunakan minyak sawit. “Dengan meningkatnya pendapatan dan aktivitas sosial, konsumsi produk kecantikan juga naik—dan ini mendukung permintaan minyak sawit,” jelasnya.
Selain itu, ketegangan perdagangan Tiongkok dengan negara lain seperti Kanada menyebabkan penurunan impor kedelai dan mendorong pergeseran ke minyak sawit. Industri biodiesel yang berkembang di Tiongkok juga turut memperluas penggunaan minyak sawit, seiring dorongan pemerintah terhadap energi terbarukan.
BACA JUGA: Komisi VII DPR RI Dukung Hilirisasi Sawit Rakyat Lewat Pemanfaatan Batang Sawit Tua
“Faktor lain seperti nilai tukar mata uang dan harga global juga berpengaruh. Bila harga minyak sawit lebih murah dari alternatifnya, Tiongkok cenderung meningkatkan impornya,” tambahnya.
Dengan beragam dinamika yang terjadi, para pengamat sepakat bahwa meski industri sawit Malaysia relatif tangguh, strategi adaptif dan inovatif tetap diperlukan untuk menjaga daya saing dan keberlanjutan sektor ini dalam jangka panjang. (T2)