InfoSAWIT, JAKARTA – Indonesia disebut-sebut sebagai raksasa sawit dunia. Namun, produktivitas minyak sawit nasional yang stagnan di angka 2,85 ton/ha/tahun seolah menertawakan julukan itu. Padahal, secara genetik, tanaman kelapa sawit hibrida yang kini mendominasi perkebunan kita berpotensi menghasilkan hingga 11–13,5 ton minyak sawit per hektar per tahun. Artinya, kita baru memanfaatkan sekitar 25% dari potensi maksimal tanaman unggul tersebut. Ada yang sangat keliru dalam manajemen nasional kelapa sawit kita.
Kita bicara potensi nasional mencapai 170 juta ton per tahun. Namun yang terealisasi baru sekitar 50 juta ton. Kesenjangan ini bukan perkara kecil dan bukan pula sesuatu yang tak bisa dijembatani. Empat faktor utama yang menyebabkan produktivitas sawit nasional tetap rendah adalah: buruknya budidaya, minimnya pemupukan, lemahnya penerapan teknologi agronomi, dan tidak tertanganinya aspek panen serta infrastruktur produksi.
Pertama, kita harus berani mengakui bahwa banyak kebun sawit —baik milik rakyat maupun perusahaan— tidak dirawat dengan baik. Tidak dipupuk selama bertahun-tahun, pencurian hasil dibiarkan, dan agronomi menjadi aspek yang terabaikan. Apakah kita benar-benar berharap mendapatkan hasil optimal dari tanaman yang tak pernah diberi makan?
BACA JUGA: Memetakan Kebun Petani Sawit untuk Penghidupan Berkelanjutan
Kedua, sudah saatnya pemerintah hadir melalui kebijakan subsidi pupuk untuk sawit, sebagaimana berlaku di komoditas pangan lain. Ini bukan soal bagi-bagi bantuan, tetapi investasi negara. Dengan subsidi pupuk sekitar Rp90 triliun, potensi penerimaan negara dari pungutan ekspor, bea keluar, dan PPN dapat mencapai Rp186 triliun hanya dalam 1,5 tahun. Ini belum termasuk perputaran ekonomi sebesar Rp300–500 triliun yang akan tercipta di daerah sentra sawit. Jangan lagi melihat pupuk sebagai beban fiskal, tapi sebagai motor ekonomi nasional.
Ketiga, kita punya teknologi seperti Production Force Management —pengelolaan akar dan kanopi secara sistematis— yang mampu mendongkrak hasil hingga dua kali lipat dan menghemat biaya pupuk hingga 30%. Biayanya murah, implementasinya mudah, dampaknya luar biasa. Mengapa tidak dijadikan program nasional?
Keempat, kita butuh pemanen yang cukup dan jaringan jalan produksi yang layak. Terlambat panen karena kekurangan tenaga atau buruknya akses akan menyebabkan kehilangan buah, naiknya biaya angkut, dan akhirnya jatuhnya produktivitas. Ini masalah dasar yang justru jarang dibahas dalam rapat-rapat besar perkebunan.
BACA JUGA: ISW 2025: Ketika Petani Sawit dari Seluruh Dunia Bertemu di Johor Bahru
Jika keempat masalah ini ditangani serius, bukan mustahil produktivitas nasional bisa naik ke angka 5 ton CPO/ha/tahun. Itu artinya, dari total luas kebun sawit sekitar 17 juta ha, kita bisa menghasilkan 85 juta ton minyak sawit per tahun — cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik energi dan pangan, tanpa perlu mengorbankan ekspor.
Peningkatan ini hanya setengah dari potensi penuh yang bisa mencapai 10 ton CPO/ha/tahun. Jika seluruh lahan berizin yang belum ditanami —sekitar 3 juta ha— digarap dengan benar, maka produksi nasional bisa tembus 200 juta ton per tahun. Bayangkan efek ekonomi, sosial, dan strategisnya bagi Indonesia.