InfoSAWIT, JAKARTA – Setelah kembali dibukanya keran ekspor minyak sawit, pemerintah pun melempar rencana melakukan audit perusahaan sawit sebagai upaya dalam perbaikan tata kelola. Padahal regulasi sebelumnya juga melakukan hal yang sama.
Upaya pemeritah dalam melakukan perbaikan tata kelola sektor sawit patut diapresiasi, terlebih saat ini upaya audit sektor sawit dimunculkan kembali setelah berupaya melakukan perbaikan tata niaga minyak goreng sawit.
Dalam perbaikan tata kelola sektor sawit tersebut, objek audit telah dilemparkan oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, yakni audit dilakukan menyeluruh mulai dari luas perkebunan kelapa sawit, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengelolaan Lahan (HPL), sistem produksinya hingga status lokasi kantor pusat perusahaan.
Pakar hukum bisnis Universitas Prasetiya Mulya, Rio Christiawan mengungkapkan, keuntungan upaya memindahkan kantor pusat perusahaan sawit ke Indonesia bisa mempermudah pengawasan, pengumpulan data serta pengambilan keputusan.
Selain itu memudahkan koordinasi dengan jajaran managemen perusahaan sawit. Termasuk lebih mudah memastikan ketersediaan data perusahaan tersebut. Rio mengatakan, dengan berkantor pusat di Indonesia perusahaan sawit menjadi lebih dekat dengan pemerintah dan akan mempermudah banyak urusan, misalnya urusan yang terkait dengan persetujuan atau proyek sinergis dengan pemerintah.
Hanya saja diakui memang, guna memindahkan kantor pusat dari Luar Negeri ke Indonesia tidak mudah, lantaran akan banyak persoalan yang akan dihadapi perusahaan sawit akibat banyak jajaran manajemennya hingga staff bukan berasal dari Warga Negara Indonesia (WNI).
Dengan berkantor pusat di Indonesia juga kata Rio, bakal mendatangkan kekhawatiran. Hal tersebut disebabkan masih rendahnya kemudahan berusaha (ease of doing business) di Indonesia utamanya terkait kepastian hukum, tingkat korupsi yang masih tinggi dan politik yang cenderung tidak stabil.
Sementara mengenai audit HGU, kata Rio, menjadi hak pemerintah terkait kegiatan pengawasan, kendati kegiatan pengawasan penggunaan HGU telah dilakukan melalui kegiatan pengawasan tanah terlantar dan pemerintah telah memiliki aturan mengenai peruntukan, penggunaan tanah serta tanah terlantar dalam HGU.
Rio menyarankan supaya fokus audit HGU dapat diperjelas, bila kegiatan audit HGU ini tidak memiliki fokus yang jelas dan tanpa diikuti regulasi yang ada, maka bakal menimbulkan kontradiksi aturan dan tumpang tindih dengan aturan tanah terlantar, aturan penilaian usaha perkebunan maupun regulasi ISPO itu sendiri.
Menurutnya jika terjadi kontradiksi bisa menimbulkan ketidakpastian aturan pengawasan dan membebani pelaku usaha industri perkebunan, sekaligus membuka celah kemungkinan praktik koruptif dengan dalih melakukan pengawasan.