InfoSAWIT, JAKARTA – Awalnya berdasar pengakuan wanita yang memiliki hobi berenang ini, kurang tahu persis apa itu komoditas kelapa sawit. Namun, adanya kebijakan pemerintah kala itu yang menyetop impor vitamin A dari UNICEF, memberikan kesempatan Tien R Muchtadi atau yang akrab disapa dengan Ibu Tien mengenal dunia sawit untuk pertama kalinya.
Indonesia dengan populasi penduduk yang cukup besar sangat membutuhkan pasokan vitamin A yang melimpah, atas dasar itulah Tien yang sedang studi S3 atas petunjuk advisor-nya diarahkan untuk penelitian karoten yang dimiliki kelapa sawit, sebagai sumber baru vitamin A yang selama ini kerap dibuang keberadaannya.
Maka mulailah wanita yang telah mengabdi sebagai dosen selama lebih 50 tahun melakukan penelitian dengan menggunakan sampel sawit yang didapat dari sekitar Tugu Kujang, Bogor. Namun, karena sampel yang didapat bukan berasal dari perkebunan, penelitian yang dilakukannya dianggap tidak valid. “Ya sudah saya ambil hikmahnya saja paling tidak saya jadi tahu,” seloroh Tien kepada InfoSAWIT.
BACA JUGA: Tak Adopsi Prinsip Sawit Berkelanjutan Jadi Risiko Pemodal
Namun setelah kejadian tersebut akhirnya Tien dikirim ke Medan guna melihat proses refineri untuk mencari informasi karoten yang terbuang dari bleaching earth lewat spent earth. Namun setelah diteliti karoten yang dihasilkan bleaching earth kandungan vitamin A nya sudah terdegradasi.
Setelah sempat tertunda, misi mencari sumber vitamin A pun dilanjutkan. Untungnya saat di Medan Tien tidak membuang kesempatan dengan mempelajari proses pembuatan minyak sawit di PT Perkebunan Nusantara VI dan VII saat itu. “Waktu di Medan saya datang ke PTPN VI dan VII untuk belajar membuat minyak sawit,” katanya menambahkan.
Barulah diketahui ada satu teknik yang bisa menyelamatkan karoten supaya kandungan vitamin A-nya masih tinggi, teknik tersebut adalah supercritical fluid extraction. Rupanya Tien adalah orang pertama yang menggunakan teknik supercritical fluid extraction, untuk kelapa sawit. “Saya adalah orang Indonesia pertama yang menggunakan teknik supercritical untuk sawit,” ungkap Tien.
BACA JUGA: Harga Minyak Sawit Di Bursa Malaysia Turun, Dampak Pengetatan di China
Tidak hanya masalah betacaroten, Tien pun sempat tertarik meneliti kematangan buah sawit, apalagi sebelumnya waktu pemanenan buah sawit kerap didasarkan pada jumlah jatuhnya berondolan sawit.
Berdasarkan nalar peneliti, cara itu tidak wajar maka terbersit dibenak Tien untuk melakukan pembuktian secara ilmiah. Dari situlah Tien mulai melakukan penelitian terkait waktu yang tepat guna melakukan panen untuk kelapa sawit.
Caranya, dimulai dengan menandai dari awal proses bunga hingga menjadi tandan buah segar kelapa sawit, lantas setiap minggu dilakukan evaluasi.
BACA JUGA: Gelar Buah Nusantara, Astra Agro Kampanyekan Kelapa Sawit ke Sekolah Dasar
Akhirnya diketahui bahwa maksimum pembentukan globula lemak terjadi pada minggu ke 16, sebab bila umur buah sudah melampaui 18 minggu maka globula lemak tadi kembali pecah menjadi asam. “Itulah penelitian saya yang diaplikasikan di Dirjenbun, jadi bukan pakai berondolan lagi untuk menandai panennya,” terang Tien.
Tidak hanya sebagai peneliti, orang lama di IPB ini juga sempat menjadi orang yang pertama dalam menghadang isu kesehatan di sawit, misalnya saja Saat muncul pertama kali isu minyak sawit mengandung kolesterol pada era 1980 an.
Akhirnya guna menjawab isu tersebut, wanita asal Bogor ini pun kembali ditugasi guna meneliti kebenaran isu tersebut. “Karena pembimbing saya Dirjen dan perlu jawaban ilmiah maka saya dikirim ke Cornell University,” kata wanita yang memiliki tiga paten atas namanya sendiri. (T2)