InfoSAWIT, JAKARTA – Harga referensi produk minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) untuk penetapan bea keluar (BK) dan tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (tarif BLU BPD-PKS) atau pungutan ekspor (PE) periode 1–15 Januari 2023 adalah US$ 858,96/MT. Nilai ini turun sebesar US$ 13,03 atau 1,49 persen dari periode 16-31 Desember 2022, yaitu sebesar US$ 871,99/MT.
Harga referensi tersebut sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 1598 Tahun 2022 tentang Harga Referensi Crude Palm Oil yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Selain itu, minyak goreng (refined, bleached, and deodorized/RBD Palm Olein) dalam kemasan bermerek dan dikemas dengan berat netto ≤ 25 kg dikenakan BK US$ 0/MT dengan penetapan merek sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 1599 Tahun 2022 tentang Daftar Merek RBD Palm Olein dalam Kemasan Bermerek dan Dikemas dengan Berat Netto ≤ 25 KG.
BACA JUGA: Dampak Permen LHK Nomor 5 Tahun 2021 Terhadap Perusahaan Sawit
“Saat ini harga referensi CPO mengalami penurunan yang mendekati ambang batas sebesar US$ 680/MT. Untuk itu, merujuk pada PMK yang berlaku saat ini maka Pemerintah mengenakan BK CPO sebesar US$ 52/MT dan pungutan ekspor CPO sebesar US$ 90/MT untuk periode 1—15 Januari 2023,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Budi Santoso, dalam keterangan resmi diterima InfoSAWIT, Jumat (30/12/2022).
Bea keluar CPO periode 1—15 Januari 2023 merujuk pada Kolom Angka 5 Lampiran Huruf C Peraturan Menteri Keuangan Nomor 123/PMK.010/2022 sebesar US$ 52/MT. Sementara itu, pungutan ekspor CPO periode 1-15 Januari 2023 merujuk pada Lampiran Huruf C Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.05/2022 sebesar US$ 90/MT, dengan demikian total BK dan Pungutan Ekspor CPO mencapai US$ 142/Ton.
BACA JUGA: Renewable Energy Directived Jilid III Bersiap Meluncur
“Penurunan harga referensi CPO dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya terdapat penurunan pasokan akibat musim hujan, pelemahan kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat, dan peningkatan permintaan terhadap minyak nabati pesaing khususnya minyak kedelai,” kata Budi Santoso. (T2)