InfoSAWIT, JAKARTA – Serial kebijakan yang diselenggarakan oleh sawitsetara.co menarik perhatian dari berbagai pihak terkait dengan industri kelapa sawit di Indonesia. Dalam acara tersebut, tiga narasumber kunci dari Kemenko Ekonomi, BPDPKS, dan CPOPC bersama dengan sejumlah pemangku kepentingan lainnya berkumpul untuk membahas dampak regulasi Uni Eropa terhadap industri sawit Indonesia.
Regulasi European Union Deforestation-Free Regulation (EUDR) menjadi sorotan utama, karena potensinya untuk memberikan dampak yang signifikan pada petani sawit. Salah satu titik sorot adalah kesenjangan antara regulasi tersebut dengan kondisi riil yang dihadapi oleh petani sawit sehari-hari di Indonesia.
Menurut standar UE, Indonesia dianggap sebagai negara dengan tingkat risiko deforestasi tinggi dalam produksi komoditas, termasuk minyak kelapa sawit. Namun, hal ini bertentangan dengan upaya Indonesia dalam menerapkan pola budidaya sawit yang berkelanjutan, yang dibuktikan melalui sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
BACA JUGA: Di 2023 Jadi Tahun Penuh Tantangan, Laba Bersih TAPG Anjlok 46 Persen
“Kita tidak mau dituduh tidak sustainable, sebab kita sudah memenuhi persyaratan tapi mengapa masih mempunyai hambatan-hambatan. Sebab kita sudah mempunyai ISPO, dimana didalam ISPO tersebiut sudah memenuhi persyaratan EU diantaranya masalah tuduhan deforestasi,” ungkap Staf Ahli Bidang Konektivitas, Pengembangan Jasa dan Sumber Daya Alam, Musdhalifah Machmud dalam acara Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Kupas Tuntas Regulasi Perkelapa Sawitan Indonesia,” yang diselenggarakan sawitsetara.co.
Sementara, Kadiv Perusahaan BPDPKS, menegaskan pentingnya sertifikasi ISPO untuk pembuktian bahwa kelapa sawit di Indonesia telah sustainable. Lebih lanjut, Ia menjelaskan betapa pentingnya komoditas kelapa sawit bagi Indonesia. Sebab jika kelapa sawit di Indonesia terhenti bukan hanya industri yang terkena dampaknya, tapi juga petani.
Berdasarkan catatan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) bahwa ada sekitar 2,4 juta petani swadaya yang melibatkan 4,6 juta pekerja. Dengan demikian bila sampai komdoditas kelapa sawit ini terpukul oleh aturan EUDR maka akan ada jutaan petani dan pekerja yang ikut merasakan dampaknya.
BACA JUGA: Sosialisasi dan Inkubasi Malam Sawit: Mendukung Perkembangan Industri Batik di Indonesia
Menanggapi hal tersebut, Mauli mengungkapkan, selain mendorong sertifikasi ISPO juga kampanye positif juga harus semakin agresif dilakukan oleh negara-negara yang selama ini diskriminatif dalam perdagangan minyak sawit, seperti negara-negara Uni Eropa.