InfoSAWIT, JAKARTA – Indonesia, sebagai salah satu produsen utama minyak kelapa sawit di dunia, menghadapi berbagai kendala dalam upaya membenahi tata kelola industri sawitnya. Pemerintah Indonesia telah berupaya keras untuk mengatasi tantangan-tantangan ini demi menjaga keberlanjutan sektor sawit.
Benih yang tidak bersertifikat dan rendahnya penerapan GAP, menjadi salah satu masalah utama dalam industri sawit adalah penggunaan benih yang berasal dari sumber yang tidak jelas atau tidak bersertifikat. Diungkapkan, Direktur Pengolahan & Pemasaran Hasil Perkebunan Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI, Prayudi Syamsuri, selain itu, penerapan Good Agricultural Practices (GAP) di kebun-kebun sawit masih rendah, yang dapat memengaruhi produktivitas dan kualitas kelapa sawit yang dihasilkan.
Lantas, perlu adanya peningkatan kapasitas pekebun dan lembaga pekebun, dalam rangka meningkatkan kualitas produksi kelapa sawit, diperlukan peningkatan kapasitas pekebun dan lembaga pekebun. Pelatihan dan pendidikan mengenai praktik-praktik terbaik dalam pertanian sawit sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi.
BACA JUGA: HR CPO Turun, Berikut Penetapan BK dan PE CPO Periode 16–30 September 2023
Termasuk konflik Lahan dan Kawasan Lindung, lantaran beberapa lahan perkebunan kelapa sawit terindikasi berada dalam kawasan hutan atau kawasan lindung gambut. Hal ini menjadi masalah serius karena berpotensi merusak lingkungan dan menciptakan konflik dengan pihak-pihak yang peduli terhadap konservasi alam.
Persoalan legalitas banyak lahan perkebunan kelapa sawit yang belum memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM), Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), atau belum bersertifikat oleh Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). “Kekurangan legalitas ini dapat menjadi hambatan dalam investasi dan pengembangan industri sawit,” katanya saat menjadi pembicara dalam Diskusi di Jakarta yang dihadiri InfoSAWIT, akhir Juli 2023 lalu.
Lebih lanjut kata Prayudi, sebagian besar kebun sawit di Indonesia masih mengandalkan tenaga kerja manusia, dan pengelolahan kebun belum sepenuhnya mekanisasi. Penggunaan tanaman sela juga belum dioptimalkan, sehingga produktivitas kebun dapat ditingkatkan dengan teknologi yang lebih modern.
BACA JUGA: Kabul Wijayanto: Sawit Selama Dua Dekade Dukung Ekonomi Indonesia
Hingga saat ini, pekebun sering menghadapi kesulitan dalam mengakses permodalan untuk pengembangan kebun dan juga dalam mendapatkan agroinput yang sesuai dan terjangkau. “Ini dapat menghambat pertumbuhan sektor sawit,” katanya.
Bahkan rantai pasok yang panjang dan mutu TBS yang Rendah Rantai pasok yang panjang dapat mempengaruhi kualitas dan harga Tandan Buah Segar (TBS). Untuk meningkatkan nilai tambah, perlu diupayakan rantai pasok yang lebih efisien dan peningkatan mutu TBS.
Terakhir, pemanfaatan produk samping produk samping kelapa sawit belum dimanfaatkan secara optimal. Dengan lebih baiknya manajemen limbah dan pemanfaatan produk samping, industri ini dapat lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. (T2)