InfoSAWIT, JAKARTA – Kelapa sawit sangat tergantung dengan iklim supaya menghasilkan produksi tinggi, lantaran iklim yang ekstrem dapat berdampak signifikan terhadap produksi kelapa sawit. Sebab itu perlu ada antisipasi guna menghadapi kondisi tersebut.
Merujuk evaluasi yang dilakukan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Pada 2019 lalu terdapat El Nino lemah, kondisi ini terjadi hingga semester I-2020. La Nina terjadi fluktuasi pada September 2022 Februari 2023, atau terjadi 3 tahun berturut-turut.
“Kemarau basah cenderung meningkatkan produktivitas tanaman kelapa sawit 1-2 tahun setelah kejadian kemarau basah,” kata Kepala Kelti Ilmu Tanah dan Agronomli, PPKS, Nuzul Hijri Dahlan dalam webinar online yang diadakan PPKS pada akhir Mei 2023 lalu.
BACA JUGA: Astra Agro Resmi Publikasikan Laporan Independen Terkait Tudingan Pelanggaran
Selain itu, masih merujuk prediksi iklim untuk periode Juni hingga Agustus 2023, terdapat peringatan tentang kemungkinan terjadinya El Niño dan IOD positif, kombinasi kedua fenomena ini dapat menyebabkan penurunan curah hujan yang signifikan di Indonesia. Contoh kejadian serupa terjadi pada tahun 1997, 2006, dan 2015, di mana terjadi penurunan curah hujan yang cukup signifikan di berbagai daerah di Indonesia, terutama pada periode Juli hingga Oktober 2015.
Dimana Jambi menjadi menjadi wilayah yang dipengaruhi oleh ENSO dan dampak kekeringannya cukup signifikan terhadap produksi Kelapa sawit pada kejadian El Niño 2015 silam, termasuk Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.
BACA JUGA: Harga CPO KPBN Kembali Turun 0,87 Persen, Pada Senin (27/11)
Diungkapkan Nuzul Hijri, ciri-ciri pohon kelapa sawit terdampak iklim kering biasanya memunculkan beberapa gejala seperti, munculnya lebih dari 2 daun tombak, banyaknya bunga jantan, gagal tandan, pelepah sengkleh, aborsi bunga, penurunan kualitas tandan, dan pengeringan pelepah. (T2)