InfoSAWIT, JAKARTA – Pengelolaan kebun sawit berkelanjutan di lahan gambut faktanya bisa dilakukan, dengan menjaga muka air dalam kondisi kering maupun hujan. Selain produktivitas bisa tetap terjaga, kejadian subsiden pun bisa ditekan.
Budidaya kelapa sawit di Indonesia tercatat tidak hanya dilakukan di lahan mineral, namun pula dilakukan di lahan-lahan marginal, pasang surut hingga lahan gambut. Nah, untuk budidaya kelapa sawit di lahan gambut akhir—akhir ini acap menjadi sorotan, alasannya budidaya kelapa sawit di lahan gambut memicu terjadinya perusakan lahan dan menimbulkan emisi gas karbon.
Sehingga budidaya kelapa sawit di lahan gambut kerap kali diperdebatkan, bagi penggiat lingkungan, budidaya kelapa sawit di lahan gambut tidak disarankan bahkan ada anjuran dalam upaya merestorasi lahan gambut yang rusak, dilakukan dengan budidaya tanaman lain bukan dengan menanam kelapa sawit.
BACA JUGA: Perusahaan Sawit PT Sahabat Mewah dan Makmur Resmikan Pembangunan Balai Dusun di Belitung Timur
Jelas, anggapan itu bagaikan mendeskriditkan komoditas kelapa sawit, padahal penggunaan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit telah dilakukan berpuluh-puluh tahun silam. Namun disini bukan untuk membahas perdebatan budidaya kelapa sawit di lahan gambut, tulisan ini bakal menjadi pertimbangan bagi semua pihak, bahwa budidaya kelapa sawit secara riset di lapangan bisa dibudidayakan di lahan gambut, hanya saja memang perlu memerhatikan berbagai hal, sehingga potensi kerusakan lingkungan bisa diminimalisir bahkan dihilangkan.
Penulisan artikel ini merujuk hasil riset yang dilakukan di perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di Jambi. Dengan tujuan guna mempelajari pengaruh hujan terhadap fluktuasi air tanah pada kondisi pengelolaan air yang ada, lantas menentukan kedalaman air tanah optimum untuk sawit dengan mempertimbangkan hasil yang baik dan aman untuk lingkungan di musim kemarau, terakhir, guna mendapatkan persamaan subsiden di lahan gambut pada kondisi pengelolaan air yang baik di perkebunan kelapa sawit.
Pada riset ini menggunakan data kedalaman air tanah dari tahun 2012-2015, dengan umur tanaman sawit antara 12-19 tahun. Total sampel: Area 1:69 blok, Area 2: 32 blok. Masing-masing blok dipasang 3 piezometer dan 4 sumur pengamatan. Angka kedalaman air tanah untuk setiap blok dirata-ratakan dari 7 pengamatan tersebut. Kedalaman air tanah diamati setiap minggu.
BACA JUGA: Perusahaan Sawit TSE Group Dukung Pengembangan Tepung Sagu Kering di Boven Digoel
Data kedalaman air tanah diklasifikasikan ke dalam 8 kelas yakni (1) WT >120 cm, (2) WT 100-120 cm, (3) WT 80-100 cm, (4) WT 60-80 cm, (5) WT 40-60 cm, (6) WT 20-40 cm, (7) WT 0-20 cm, (8) WT<0 cm (tergenang).