InfoSAWIT, JAKARTA – Sekretaris Jenderal Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Damar Panca, menyampaikan sejumlah kritik tajam terhadap praktik industri sawit di Indonesia. Ia mengungkapkan masalah serius yang melibatkan kesejahteraan buruh, kerusakan lingkungan, hingga kebijakan yang dianggap tidak melindungi hak-hak dasar pekerja dan masyarakat sekitar.
Menurut Damar, industri sawit berkembang pesat, tersebar dari Aceh hingga Papua, khusus untuk wilayah Riau luas lahan perkebunan kelapa sawit nya mencapai 2,87 juta hektare atau sekitar 18,7% dari total luas sawit nasional. Lantas di Kalimantan Barat saja, terdapat 345 perusahaan sawit, di mana sebagian besar memiliki skala usaha besar.
Meskipun sektor ini menyerap hingga 20 juta tenaga kerja baik secara langsung maupun tidak langsung, perlindungan terhadap hak-hak dasar buruh masih sangat minim. “Mayoritas pekerja di sektor ini adalah buruh harian lepas yang tidak memiliki kepastian kerja maupun jaminan kesejahteraan,” ungkap Damar dalam Konferensi Pers Catatan Akhir Tahun Buruh Perkebunan Sawit 2024, dihadiri InfoSAWIT, Jumat (27/12/202).
BACA JUGA: TPOLS Serukan Reformasi Menyeluruh Sistem Sertifikasi dan Kebijakan Buruh di Sektor Sawit
Industri sawit juga berdampak pada lingkungan, termasuk hilangnya keanekaragaman hayati dan kerusakan ekosistem laut yang menjadi sumber penghidupan nelayan. Damar menjelaskan bahwa wilayah pesisir yang dulunya kaya ikan kini mengalami penurunan hasil tangkapan akibat polusi dan konversi lahan menjadi perkebunan sawit.
“Dampaknya tidak hanya pada lingkungan, tetapi juga pada kesehatan masyarakat sekitar yang terancam oleh polusi dan kualitas air yang buruk,” tambahnya.
Damar menyoroti rendahnya tingkat upah di sektor sawit, terutama bagi buruh kontrak dan harian lepas. Ia juga mencatat maraknya penggunaan sistem kerja fleksibel yang memungkinkan perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak.
BACA JUGA: Tumpang Sari Padi Gogo di Lahan Sawit, Langkah Kalsel Menuju Swasembada Pangan
“Sistem kerja kontrak atau PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) mendominasi hingga 70% hubungan kerja di sektor ini, yang memberikan keuntungan maksimal bagi perusahaan tetapi merugikan buruh,” jelasnya.
Lebih parahnya, praktik “buruh siluman” di mana perempuan yang membantu pekerjaan suami tidak diakui sebagai pekerja resmi dan tidak mendapatkan upah, juga masih sering ditemukan.
Industri sawit juga dinilai anti terhadap pembentukan serikat buruh. Banyak perusahaan membatasi atau bahkan menghalangi keberadaan serikat pekerja. Dalam beberapa kasus, serikat dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang telah disusun sepihak oleh perusahaan hanya demi memenuhi syarat sertifikasi seperti RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil).
BACA JUGA: Perkumpulan Pemantau Sawit Ajukan Uji Materi UU Pencegahan Perusakan Hutan
“PKB seringkali tidak melibatkan pekerja, hanya untuk memenuhi standar sertifikasi agar perusahaan dapat mengekspor produknya ke pasar internasional,” ujar Damar.
Damar menyerukan agar pemerintah mengambil langkah tegas untuk melindungi hak-hak buruh dan memperbaiki sistem pengelolaan industri sawit. “Pemerintah perlu memastikan bahwa undang-undang yang ada benar-benar melindungi pekerja, lingkungan, dan masyarakat yang terdampak,” tegasnya.
Diskusi ini menjadi pengingat bahwa di balik kemajuan industri sawit, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk menciptakan keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. (T2)