InfoSAWIT, JAKARTA — Serikat Pekerja Sawit Indonesia (SEPASI) mengungkapkan berbagai persoalan serius yang masih melingkupi buruh perkebunan sawit di Indonesia. Dalam laporan terbaru, Dianto Arifin dari SEPASI menyoroti buruknya kondisi kerja, sistem pengupahan, serta praktik rekrutmen yang rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia.
Buruh perkebunan sawit menghadapi dua sistem pengupahan: berbasis satuan hasil dan satuan waktu. Namun, kedua sistem tersebut sering kali tidak memberikan kepastian pendapatan. Buruh perempuan yang terlibat dalam pemupukan atau penyemprotan herbisida, misalnya, menghadapi beban kerja berat tanpa standar upah yang jelas. Cuaca dan interval kerja sering kali memengaruhi penghasilan mereka, yang bisa jauh di bawah standar kebutuhan hidup layak.
Selain itu, beban ekonomi buruh semakin berat karena mereka harus membeli sendiri alat pelindung diri (APD) seperti masker, sarung tangan, dan apron. Bahkan, alat kerja seperti alat panen dan perlengkapan penyemprotan harus mereka tanggung sendiri, yang bisa mencapai ratusan ribu rupiah setiap bulannya.
BACA JUGA: Realisasi Peremajaan Sawit Rakyat di Mukomuko Seluas 906 Hektare pada 2024
Dianto mengungkapkan bahwa pekerjaan di perkebunan sawit memiliki risiko kecelakaan kerja yang tinggi. Pemanen, misalnya, sering kali mengalami cedera akibat tertimpa buah sawit atau pelepah pohon. Bahkan, ada kasus buruh yang mengalami kebutaan akibat kecelakaan kerja.
Buruh perempuan juga menghadapi risiko paparan bahan kimia berbahaya tanpa adanya pemeriksaan kesehatan rutin dari perusahaan. “Perusahaan seharusnya menyediakan medical check-up dan APD secara gratis, tetapi kenyataannya buruh harus menanggung semua biaya tersebut,” tegas Dianto, dalam acara Konferensi Pers Catatan Akhir Tahun Buruh Perkebunan Sawit 2024, dihadiri InfoSAWIT, belum lama ini.
Praktik rekrutmen buruh secara non-prosedural juga menjadi sorotan SEPASI. Buruh migran dari luar pulau sering kali direkrut melalui perantara tanpa perjanjian kerja yang jelas. Akibatnya, banyak dari mereka merasa tertipu dan tidak menerima gaji sesuai kesepakatan awal. Dianto mengaitkan situasi ini dengan potensi praktik perdagangan manusia, terutama ketika perusahaan cuci tangan dari tanggung jawab terhadap pelanggaran yang terjadi.
BACA JUGA: Malaysia Optimis Hadapi Melonjaknya Bea Masuk Minyak Sawit India
SEPASI menyerukan empat langkah utama untuk memperbaiki kondisi buruh perkebunan sawit, pertama, pelatihan dan sertifikasi bagi buruh, khususnya perempuan di bagian pemupukan dan penyemprotan.
Lantas kedua, pemeriksaan kesehatan rutin untuk mengidentifikasi dampak paparan bahan kimia, ketiga, penyediaan APD dan alat kerja secara gratis oleh perusahaan dan keempat, penguatan pengawasan ketenagakerjaan oleh pemerintah, khususnya melalui dinas ketenagakerjaan di setiap wilayah.
Dianto berharap upaya ini dapat mendorong perbaikan hubungan kerja dan kondisi kerja di tahun mendatang. “Kami berharap tahun 2025 menjadi titik balik untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan manusiawi bagi buruh perkebunan sawit,” tutupnya. (T2)