InfoSAWIT, JAKARTA – Industri kelapa sawit telah menjadi pilar ekonomi di Indonesia dan Malaysia sejak pengembangannya pada 1970-an. Melalui skema PIR (Perkebunan Inti Rakyat) di Indonesia dan FELDA (Federal Land Development Authority) di Malaysia, para petani rakyat dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan kebun. Dari luas awal sekitar 300.000 hektare, perkebunan kelapa sawit di Indonesia kini telah berkembang menjadi 17 juta hektare, dengan tambahan 3 juta hektare lahan berizin yang belum ditanami. Totalnya mencapai 20 juta hektare, menjadikannya salah satu sumber daya strategis nasional.
Minyak kelapa sawit diolah menjadi Crude Palm Oil (CPO) dari sabut buah sawit dan Palm Kernel Oil (PKO) dari biji sawit. Kemajuan teknologi agronomi dan teknik memungkinkan peningkatan rendemen minyak sawit hingga 32% dan potensi produksi Tandan Buah Segar (TBS) mencapai 40-45 ton per hektare per tahun. Dengan efisiensi produksi yang demikian tinggi, kelapa sawit menjadi tanaman penghasil minyak paling produktif di dunia.
Selain untuk minyak goreng, minyak sawit kini juga digunakan untuk memproduksi berbagai produk oleokimia dan bahan bakar nabati (BBN), termasuk biodiesel, bioavtur, dan biogasoline. Teknologi ini muncul sebagai respons terhadap tekanan internasional terkait energi terbarukan. Menariknya, bahan bakar berbasis minyak sawit memiliki kualitas lebih baik dibandingkan bahan bakar fosil. Biodiesel B40, yang akan beredar pada 2025, memiliki bilangan cetane 51,2, menjadikannya kompatibel bahkan untuk kendaraan Eropa.
BACA JUGA: Harga TBS Sawit Jambi Periode 24-30 Januari 2025 Turun Rp 39,72/Kg
Namun, terdapat tantangan yang kerap disuarakan, seperti klaim bahwa biodiesel dapat merusak mesin. Klaim ini perlu diuji lebih lanjut dengan data yang transparan. Pengalaman penulis, yang telah menggunakan kendaraan diesel dengan biodiesel selama tujuh tahun, menunjukkan tidak adanya kendala signifikan.
Kementerian Pertanian telah menguji biodiesel 100% (B100) sejak 2009, dengan hasil menunjukkan efisiensi lebih tinggi dibandingkan solar murni. B100 memungkinkan jarak tempuh 13,1 km per liter, sementara solar hanya 9,6 km per liter. Namun, masalah utama bukan pada kualitas biodiesel, melainkan pada ketersediaan bahan baku minyak sawit.
Produktivitas kebun kelapa sawit di Indonesia masih relatif rendah. Perkebunan rakyat hanya mencapai 2,5 ton per hektare per tahun, jauh di bawah potensi optimal 8 ton per hektare. Perkebunan negara (PTPN) menunjukkan produktivitas tertinggi, mencapai 4,1 ton per hektare. Sayangnya, luasnya hanya 3,5% dari total areal kelapa sawit nasional. Untuk meningkatkan produktivitas, diperlukan koordinasi lintas sektor, termasuk Kementerian Pertanian, Perindustrian, dan Perdagangan, serta BPDPKS dan pemerintah daerah.
BACA JUGA: Harga CPO KPBN Inacom Turun 1 Persen Pada Kamis (23/1), Harga CPO di Bursa Malaysia Lesu
Rencana jangka panjang meliputi peningkatan produksi minyak sawit nasional dari 50 juta ton menjadi 100 juta ton melalui intensifikasi. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi:
- Peningkatan penggunaan pupuk: Subsidi pupuk dari 1 kg per pohon per tahun menjadi 8 kg per pohon per tahun dapat melipatgandakan produktivitas.
- Penerapan teknologi agronomi modern: Metode Production Force Management mampu meningkatkan produktivitas hingga 100%.
- Pengelolaan air dan infrastruktur: Mengendalikan genangan air dan memperbaiki jalan produksi untuk efisiensi distribusi.
- Pemanfaatan lahan berizin: Menanami 3 juta hektare lahan berizin yang belum ditanami.
Selain itu, penguatan peran PTPN menjadi krusial. Dengan produktivitas lebih tinggi dan kontribusi pajak yang signifikan, PTPN harus diperluas. Langkah ini bisa mencakup pengambilalihan perkebunan swasta yang terbengkalai atau bermasalah, serta pembukaan lahan baru di wilayah terlantarkan.
Di sisi hilir, pembentukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk pabrik BBN menjadi kebutuhan strategis. Saat ini, produksi biodiesel didominasi oleh swasta. Dengan membangun 120 pabrik BBN, Indonesia dapat memproses 60 juta kiloliter bahan bakar dari minyak sawit, menciptakan kemandirian energi nasional.
BACA JUGA: Menelusuri Keindahan dan Potensi Sawit, dari Tanaman Hias Hingga Jadi Komoditas Strategis
Dampak subsidi pupuk untuk kelapa sawit tidak hanya meningkatkan produktivitas TBS, tetapi juga pendapatan petani. Multiplier effect-nya meliputi peningntah juga mendapatkan keuntungan dari pajak dan pendapatan non-pajak yang jauh melebihi biaya subsidi.
Sebagai kesimpulan, program B100 secara teknis dan non-teknis sangat memungkinkan untuk dilaksanakan. Tantangan utama adalah ketersediaan bahan baku, tetapi solusi peningkatan produktivitas telah tersedia. Dengan keberanian mengambil langkah strategis, seperti memperluas peran PTPN, memberikan subsidi pupuk, dan membangun pabrik BBN, Indonesia dapat memantapkan diri sebagai pengendali pasar minyak sawit dunia. Selain itu, ketahanan energi nasional dapat terwujud, mendukung pembangunan berkelanjutan, dan mengukuhkan posisi Indonesia sebagai negara agraris yang inovatif dan mkatan ekonomi daerah, penyerapan tenaga kerja, dan pengurangan kemiskinan. (*)