Jakarta, InfoSAWIT – Presiden resmi menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Kebijakan ini menjadi langkah strategis pemerintah dalam mengatur kawasan hutan, terutama terkait aktivitas ilegal seperti pertambangan dan perkebunan sawit yang marak terjadi. Dalam kebijakan tersebut, pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) yang terdiri dari unsur pengarah dan pelaksana, dengan tugas utama menagih denda administratif, menguasai kembali kawasan hutan, dan memulihkan aset negara.
Namun, kebijakan ini mendapat beragam tanggapan dari para pemerhati lingkungan dan hukum. Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch, menyebutkan bahwa aktivitas ilegal di kawasan hutan sudah berlangsung lama, termasuk melalui kebijakan pemutihan sawit dalam kawasan hutan yang diatur dalam PP 24 Tahun 2021. Menurutnya, transparansi pemerintah masih menjadi masalah utama.
“Sejauh ini, informasi terkait progres pemutihan sawit, jumlah denda administratif yang telah dibayarkan, dan siapa saja subjek hukum yang telah menyelesaikan kewajibannya, sulit diakses publik. Pemerintah seharusnya membuka informasi ini agar ada kepercayaan publik terhadap kebijakan yang diambil,” ujar Surambo dalam keterangan resmi kepada InfoSAWIT, Senin (27/1/2025).
BACA JUGA: Surat Terbuka Kaoem Telapak, 100 Hari Kinerja Prabowo
Surambo juga menyoroti data terbaru yang menunjukkan bahwa dari total 3.690 subjek hukum, hanya 17 yang diberikan pelepasan kawasan hutan dan 35 lainnya dikenakan sanksi administratif. Hingga akhir 2023, denda administratif yang terkumpul mencapai Rp239 miliar, sementara Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) masing-masing sebesar Rp61 miliar dan Rp13 juta.
Kehadiran Satgas baru ini juga menuai kritik terkait dominasi militer dalam struktur pengarah dan pelaksana. Beberapa pihak menilai bahwa pendekatan ini berpotensi menciptakan birokrasi militeristik. “Apakah pembatasan akses informasi dan pengerahan pasukan militer akan dilakukan? Bagaimana dengan hak-hak masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan?” tanya Surambo.
Ahmad Zazali, Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA), menambahkan bahwa Perpres ini memiliki potensi menciptakan ketidakpastian hukum. Pasal 7 Perpres 5/2025 memungkinkan pemberlakuan sanksi pidana terhadap subjek hukum yang sudah membayar denda administratif, yang menurut Zazali bisa membuat pelaku usaha ragu dalam menyelesaikan kewajibannya.
BACA JUGA: Ekspor Minyak Sawit Indonesia November 2024 Turun, Stok Meningkat
Gunawan, Penasehat Senior Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS), juga menyoroti perlunya konsistensi penegakan hukum. Ia mengingatkan bahwa tantangan utama Satgas adalah membedakan antara kelompok terorganisir yang merusak hutan dan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan.
Ke depan, para pemerhati lingkungan dan hukum berharap Satgas dapat bekerja dengan lebih transparan dan melibatkan masyarakat sipil dalam pengawasan. Selain itu, Surambo menekankan bahwa penertiban kawasan hutan tidak hanya soal regulasi, tetapi juga menyangkut keberpihakan kepada lingkungan dan masyarakat yang terdampak.
Dengan kebijakan ini, pemerintah dihadapkan pada tugas besar: menertibkan kawasan hutan tanpa mengabaikan aspek keadilan dan transparansi. Akankah Satgas baru ini mampu menjawab tantangan tersebut? Hanya waktu yang bisa menjawab. (T2)