InfoSAWIT, JAKARTA – Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menilai pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, yang mempertanyakan komitmen Indonesia terhadap Perjanjian Paris sebagai bentuk ketidakberpihakan pemerintah terhadap keadilan iklim dan pengabaian atas penderitaan rakyat yang terdampak krisis iklim. Pernyataan Bahlil tersebut disampaikan dalam konteks pembahasan komitmen global terhadap perubahan iklim, di mana ia menyebut Amerika Serikat (AS) sebagai “motor penggerak” Perjanjian Paris dan mempertanyakan mengapa Indonesia harus melanjutkan komitmen tersebut.
“Pernyataan ini menunjukkan ketidakpahaman dan ketidakpedulian pemerintah terhadap urgensi krisis iklim serta enggannya memprioritaskan agenda keadilan iklim,” ujar Giorgio B. Indrarto, Deputy Director MADANI Berkelanjutan, dalam keterangan resmi, ditulis InfoSAWIT, Minggu (2/2/2025).
ARUKI menilai pernyataan Bahlil sebagai langkah mundur yang tidak bijaksana dan dapat merusak kredibilitas Indonesia di mata komunitas internasional. Perjanjian Paris, yang dihasilkan melalui perjuangan panjang negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, bertujuan untuk menuntut tanggung jawab negara-negara industri atas krisis iklim sekaligus menyelamatkan hak masyarakat di negara miskin dan berkembang.
BACA JUGA: Permintaan Minyak dan Lemak Dunia Meningkat Drastis, Masa Depan Sawit Jadi Perhatian
“Mengabaikan komitmen Perjanjian Paris berarti mengabaikan keselamatan rakyat, terutama kelompok rentan, dari ancaman krisis iklim yang kian tak terhindarkan,” tegas Indira Hapsari dari Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA).
Badan Perubahan Iklim Eropa (Copernicus) mencatat bahwa suhu bumi untuk pertama kalinya telah melampaui 1,5 derajat Celsius, batas aman yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris. Di Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa pada tahun 2023-2024 telah terjadi 6.827 bencana terkait cuaca dan iklim, yang berdampak pada lebih dari 13 juta orang.
Konsultasi rakyat yang dilakukan ARUKI di 13 provinsi di Indonesia juga menunjukkan bahwa kelompok rentan, seperti petani, nelayan, perempuan, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat, menanggung dampak krisis iklim lebih berat. Mereka mengalami kerusakan dan kehilangan tempat tinggal, tanah, pendapatan, hingga migrasi paksa akibat perubahan iklim.
BACA JUGA: Bank Ini Andalkan Pembiayaan Berkelanjutan, Minyak Sawit Dianggap Industri Hijau
ARUKI menegaskan bahwa pengabaian terhadap komitmen Perjanjian Paris merupakan pelanggaran kewajiban hukum dan moral pemerintah Indonesia. Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 dan mengatur lebih lanjut pemenuhan komitmen tersebut melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021. Selain itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga mewajibkan pemerintah untuk mengatasi krisis iklim.
“Pernyataan Bahlil memperlihatkan bahwa pemerintah tidak mengakui dampak krisis iklim yang berbeda terhadap kelompok rentan. Padahal, implementasi Perjanjian Paris yang berlandaskan prinsip keadilan iklim dapat menyelamatkan rakyat dari triple planetary crisis,” kata Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL.