Petani Sawit Sebut Kebijakan Biodiesel Justru Merugikan Petani Hingga Rp 9 Miliar per Bulan 

oleh -30807 Dilihat
Editor: Redaksi InfoSAWIT
InfoSAWIT
Dok. InfoSAWIT/Ketua Umum Apkasindo, Gulat Manurung.

InfoSAWIT, BOGOR – Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Gulat Medali Emas Manurung, menyatakan keprihatinan pasca implementasi B40 belum berdampak kepada harga tandan buah segar (TBS) petani sawit. Dalam Workshop Jurnalis Industri Hilir Sawit, dihadiri InfoSAWIT, di Bogor, Sabtu (22/2/2025), ia membeberkan sejumlah data dan fakta terkait penurunan harga TBS.

 


Harga TBS Anjlok Rp550-600 per Kg

Gulat Manurung mengungkapkan, harga TBS saat sejak Januari sampai Februari 2025 turun drastis hingga Rp550-600 per kg dimana saat ini harga TBS rerata hanya Rp2.450-2.500 per kg, sementara periode Oktober, Nopember dan Desember 2024 mencapai Rp3.00-3.800 per kilogram.

“Artinya dengan luasan kebun petani sawit 12.500 hektar, akan merugi Rp9 milliar per bulan karena turunnya harga TBS tersebut . Jika total luas kebun petani yang produktif adalah sekitar 4.122.000 hektar, maka kerugian tersebut mencapai Rp2,96 triliun per bulan,” tegasnya.

BACA JUGA: Mentan Amran Sebut Indonesia Tak Akan Biarkan Industri Sawit Diganggu

Ia menyebut, penurunan harga ini dipicu dengan terbitnya Permendag 02 Tahun 2025 tentang aturan eksport produk turunan kelapa sawit, dimana didalammnya juga mengatur pengetatan administrasi ekspor High Acid Palm Oil Residue (Hapor), Palm Oil Mill Effluent (POME) dan Used Cooking Oil (UCO).

Dengan terbitnya aturan tersebut praktis ekspor Hapor, POME dan UCO terhenti karena administrasinya cukup memberatkan. Dampaknya adalah menumpuknya produk tersebut di dalam negeri dan hal ini dimanfaatkan oleh produsen biodiesel untuk memanfaatkannya sebagai substitusi CPO sebagai bahan baku biodiesel, ujar Gulat.

Rahasianya dimana ?, karena Hapor, POME itu lebih murah kisaran Rp9-12 ribu per kilogram dibandingkan harga CPO Rp13.875/kg, hal ini peluang bagi produsen biodiesel dengan cara mencampurnya, sementara dalam menetapkan HIP Biodiesel tetap berkiblat ke harga CPO KPBN dan jelas ini berpotensi merugikan keuangan negara, urainya.

BACA JUGA: GIMNI Kritik Strategi Pengembangan Avtur Sawit: “Jangan Hanya Jadi Wacana!”

Lalu apa hubungannya ke harga TBS Petani sawit ?, jelas berhubungan karena roh dari mandatori biodiesel tersebut salah satunya adalah menjaga harga CPO melalui serapan domestik, dimana jika serapan domestik CPO naik maka ketersediaan CPO untuk dunia praktis berkurang, maka berlakulah hukum ekonomi (supply and demand).

Jika harga CPO terdongkrak, dengan sendirinya harga TBS akan terdampak naik. Namun karena serapan CPO Domestik tidak kunjung naik paska implementasi B40 pertengahan Januari 2025 karena di substitusi dengan POME dan Hapor tadi, maka kebijakan B40 belum dirasakan oleh petani sawit melalui terdongkraknya harga TBS, malah sepanjang Januari sampai pertengahan Februari ini terindikasi turun rerata Rp550-600 per kg TBS.

“Dana yang dipakai untuk membayar selisih HIP BBN Biodiesel dengan HIP Solar fosil, adalah dibebankan ke harga TBS kami. Dimana dengan PE (levy) Periode Februari 2025 ini USD71,66 per MT CPO maka harga TBS petani akan tertekan Rp230 per kilogram, karena apapun beban di hilir, sektor hulu lah yang terbebani. Jadi wajar saja kami sedih,” ujar Gulat.

BACA JUGA: GAPKI Sebut Ketidakpastian Hukum dan Tumpang Tindih Kebijakan Jadi Tantangan Industri Sawit

Gulat Manurung menyampaikan supaya negara tidak semakin merugi dan petani terdampak, maka perlu segera dilakukan pertama, Audit bahan baku yang digunakan oleh produsen biodiesel. Kedua, Pemerintah melalui Kemendag segera menerbitkan harga referensi Pome, Hapor dan Ucu. Ketiga, segera tinjau Kembali Permendag tersebut.

“Kami petani sawit sangat mendukung Presiden Prabowo perihal kemandirian energi, terkhusus penghematan anggaran yang tidak produktif dan optimalisasi pemasukan negara. Lalu kenapa Kemendag tidak selaras dengan kebijakan tersebut?. Eksport akan menghasilkan devisa bagi negara, ekspor akan meningkatkan pemasukan negara melalui Bea Keluar (BK), dan tentunya BPDPKS butuh pemasukan dari Pungutan Eksport (PE), kok malah dilarang eksport, dengan istilah pengetatan. Yang jadi masalah adalah jika tidak ada yang membeli diluar negeri produk Hapor, POME dan UCO tadi,” kata Gulat.

Seharusnya yang perlu dipikirkan adalah bagaimana cara meningkatkan produksi CPO, melalui produktivitas kebun sawit rakyat jika tujuan dari Permendag itu adalah menyediakan bahan baku biodiesel. Caranya adalah hulunisasi melalui Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dan untuk mendongkrak PSR ini maka BPDPKS butuh dana yang cukup besar dari PE, lanjutnya.

BACA JUGA: ESDM Percepat Transisi Energi Hijau dan Biodiesel Sawit Menuju Ketahanan Nasional 2025 

“BPDPKS sudah menjalankan tugasnya selama ini, terkhusus pasca naiknya dana PSR menjadi Rp60 juta per hektar, tapi kendalanya ada di persyaratan PSR yang cukup rumit dan Panjang sehingga target hanya tercapai 30-40% setiap tahun. Nah seharusnya hal ini yang harus dikeroyok ramai-ramai oleh Kementerian atau lembaga terkait,” kata Gulat.

Sebagai penutup, ia mengingatkan supaya semua stakeholder sawit saling mendukung, yaitu dengan konsep menjaga yang besar dengan membesarkan yang kecil, tanpa hal itu maka yang semacam ini akan terulang lagi kedepannya. (T2)

InfoSAWIT

Dapatkan update berita seputar harga TBS, CPO, biodiesel dan industri kelapa sawit setiap hari dengan bergabung di Grup Telegram "InfoSAWIT - News Update", caranya klik link InfoSAWIT-News Update, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Bisa juga IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS.


Atau ikuti saluran Whatsapp "InfoSAWIT News", caranya klik link InfoSAWIT News dan Group Whatsapp di InfoSAWIT News Update

Untuk informasi langganan dan Iklan silahkan WhatsApp ke Marketing InfoSAWIT_01 dan Marketing InfoSAWIT_02 atau email ke sawit.magazine@gmail.com