InfoSAWIT, JAKARTA – Di tengah hiruk-pikuk industri tekstil, Kampung Batik Laweyan di Solo terus berinovasi. Sejak 2007, kawasan ini sudah merintis upaya ramah lingkungan, semisal penggunaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sebagai komitmen awal terhadap kelestarian lingkungan. Kini, para pengrajin batik di Laweyan kembali mencatatkan sejarah dengan penggunaan bahan ramah lingkungan, yakni lilin sawit sebagai pengganti parafin dalam proses membatik.
Ketua Umum Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL), Alva Febila Priatmono menuturkan bahwa Laweyan memiliki visi menjadi “Laweyan Eco-Creative,” sebuah konsep yang menekankan kreativitas, inovasi, dan keberlanjutan. “Apa pun yang kami lakukan, minimal harus ramah lingkungan,” ujarnya.
Sejak 2022, komunitas batik di Laweyan mulai bereksperimen dengan berbagai bahan ramah lingkungan, termasuk pewarna alami dan kain organik. Namun, satu tantangan besar yang mereka hadapi adalah lilin batik, yang selama ini berbasis parafin dari minyak bumi. “Kami ingin menggantinya dengan sesuatu yang lebih berkelanjutan,” tutur Alva kepada InfoSAWIT, belum lama ini.
BACA JUGA: Agroforestri Sawit, Solusi Ramah Lingkungan
Tahun 2024 menjadi titik terang. Setelah berbagai uji coba, para perajin akhirnya menemukan formula lilin sawit sebagai alternatif paraffin yang didukung bahan baku stearin dari Apical Group. Alva menjelaskan bahwa proses pencarian ini tidak mudah, tetapi hasil akhirnya sangat memuaskan. “Formulanya memang mirip dengan parafin, dimana lilin sawit ini lebih lengket dan memiliki daya tahan lebih baik,” jelasnya.
Dengan inovasi ini, Laweyan siap memasuki era baru batik yang lebih ramah lingkungan. Produksi lilin sawit pun mulai berjalan seiring dengan upaya promosi ke pasar yang lebih luas. “Kami tidak hanya memproduksi, tetapi juga mempromosikan. Harapannya, ini bisa diterima secara nasional dan bahkan internasional,” katanya.
Kampung Batik Laweyan juga tidak hanya berfokus pada aspek lingkungan, tetapi juga sosial. Mereka mengembangkan program sociopreneur, di mana orang-orang berkebutuhan khusus diajarkan membatik sebagai bagian dari terapi dan pemberdayaan ekonomi. Bahkan, mereka bekerja sama dengan rumah sakit jiwa untuk mengembangkan batik sebagai terapi psikososial.
BACA JUGA: Saatnya Batik Sawit Ramah Lingkungan
Saat ini, Laweyan menjadi rumah bagi ratusan pengrajin batik, dari skala kecil hingga besar. Dengan luas kawasan yang terbatas, mereka mengadopsi sistem kemitraan, di mana sebagian proses produksi bisa dilakukan di rumah masing-masing pengrajin. “Seperti prosesor komputer, pusatnya tetap di Laweyan, tetapi eksekusinya bisa menyebar ke berbagai tempat,” kata Alva menggambarkan konsep kerja mereka.
Dengan semangat inovasi dan keberlanjutan, Kampung Batik Laweyan tak hanya menjaga tradisi, tetapi juga membawa batik ke arah yang lebih hijau dan inklusif. Langkah mereka membuktikan bahwa kearifan lokal bisa berjalan seiring dengan modernisasi dan kelestarian lingkungan. (T2)