InfoSAWIT, JAKARTA – Tingginya permintaan pasar minyak nabati dewasa ini, menggambarkan pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk dan tingkat kesejahteraan masyarakat global. Kendati pesatnya pertumbuhan pasar, masih banyak berharap terhadap pasokan minyak nabati paling populer di dunia, yaitu minyak sawit. Lantaran minyak sawit global sebagian besar berasal dari Indonesia dan Malaysia.
Kondisi global yang mengalami pandemi korona berjilid-jilid saat ini, memang banyak memunculkan stagnasi di berbagai sektor, termasuk perdagangan minyak nabati. Banyaknya pembatasan dan keterbatasan, secara nyata turut menekan laju pertumbuhan produksi minyak nabati global termasuk minyak sawit. Imbasnya, harga jual komoditi ini terus merangkak naik menjadi kian mahal.
Pesatnya permintaan pasar minyak nabati, secara linier telah menaikkan harga jual minyak sawit hingga dewasa ini. Lantaran konsumen global yang menurun aktivitasnya, telah menyebabkan kenaikan konsumsi penggunaan minyak sawit sebagai minyak makanan. Alhasil, produsen makanan yang menggunakan minyak sawit juga meningkat dan menyebabkan harga minyak sawit kian meninggi.
BACA JUGA: Harga TBS Sawit Tak Luput Jadi Pembahasan Pada Konferensi Petani Sawit (IPOSC) 2022
Kendati banyak keluhan dari konsumen akan mahalnya minyak sawit, namun di sisi lain, produsen minyak nabati lainnya juga banyak mengalami penurunan produksi hingga kesulitan dalam memasok produknya akibat terjadinya perang (Rusia menyerang Ukraina). Akibatnya, permintaan tambahan terhadap minyak sawit kembali terjadi, demi memenuhi kebutuhan masyarakat yang membutuhkan minyak makanan dari minyak nabati.
Inilah keistimewaan dari minyak nabati, lantaran penggunaannya bisa digantikan dari pasokan minyak nabati lainnya. Sebab itu, minyak kedelai, minyak biji matahari, minyak rapeseed/kanola, dan minyak sawit kian mendominasi pasokan terhadap kebutuhan konsumen global akan minyak nabati. Hebatnya minyak sawit, telah menjadi minyak nabati paling populer dan paling banyak dikonsumsi masyarakat global.
Pasar Ekspor Minyak Sawit Bertumbuh
Konsumsi terbesar dari minyak sawit asal Indonesia, memang berasal dari meningkatnya permintaan pasar ekspor, yang makin membutuhkan minyak sawit untuk minyak makanan. Lantaran lebih dari 85%, penggunaan minyak sawit di pasar global, masih sebagai minyak makanan, sedangkan sebanyak 15% digunakan sebagai minyak lainnya, termasuk bahan bakar nabati.
Kendati komposisi pasar domestik di Indonesia, terus mendorong penggunaan minyak sawit sebagai bahan bakar nabati atau biodiesel. Namun, secara faktual, penggunaan biodiesel, masih jauh dari target yang telah ditetapkan pemerintah. Sebagai informasi, perjalanan mandatori penggunaan biodiesel, telah dilakukan secara bertahap, dari B2,5 hingga B30.
Namun kendala terbesar dari bisnis biodiesel, masih berkutat di persoalan harga jualnya yang harus bersaing dengan harga bahan bakar minyak yang berasal dari petroleum. Alhasil, pemberian insentif atau subsidi terhadap biodiesel terus dilakukan hingga dewasa ini. Keberadaan pajak ekspor (Bea Keluar) dan Pungutan ekspor (PE), terus digunakan sebagai instrumen pemerintah demi subsidi biodiesel.
BACA JUGA: Harga CPO Melonjak, Siapa Yang Untung?
Kendati masih ada penggunaan dana untuk hal-hal lainya, namun secara prosentase, jelas terlihat penggunaan dana paling besar, diberikan untuk insentif harga jual biodiesel. Persoalannya, sumber dana yang diberikan berasal dari jutaan petani dan karyawan perusahaan yang bekerja keras demi keberhasilan produksi kebun sawitnya. Apakah ini berkeadilan sosial?
Di sisi lain, pasar ekspor merespon hal ini, sebagai bentuk proteksi Pemerintah Indonesia terhadap industri biodiesel di dalam negeri yang terlalu berlebihan. Lantaran, kebutuhan negara-negara tujuan ekspor, lebih membutuhkan minyak sawit sebagai bahan baku bagi industrinya, yang sebagian besar masih berkutat demi minyak makanan.