InfoSAWIT, JAKARTA – Robert Hii, pengamat industri kelapa sawit dan pendiri situs web independen CSPO Watch, menekankan faktor biaya pada pengembangan perkebunan kelapa sawit di China. Ia mengatakan bahwa meskipun pengembangan varietas bibit kelapa sawit yang cocok untuk China telah tersebar, faktanya sektor kelapa sawit Malaysia dan Indonesia tidak peduli. Sebab, tidak ada penjelasan bagaimana kendala, khususnya biaya tenaga kerja, akan bisa diatasi.
“Sementara penulis luar negeri suka menggambarkan minyak sawit sebagai minyak yang murah, itu sebenarnya salah paham. Ini mungkin lebih produktif menurut wilayah daripada minyak kedelai atau minyak lobak, tetapi sangat padat karya, dan itu tidak pernah tercermin dalam harga global,” kata Robert Hii, dilansir Chinadialogue.
lebih lanjut kata dia, kedelai dan rapeseed dapat ditanam, dan dipanen secara mekanis, sedangkan budidaya kelapa sawit harus dilakukan secara manual. Tandan Buah Segar (TBS) sawit, dengan berat lebih dari 20 kg, perlu dipanen dan dipindahkan secara manual, dan banyak pekerja perkebunan yang dia wawancarai menderita kyphosis – kelengkungan tulang belakang yang tidak normal – sebagai akibat dari kerja fisik yang berat. Satu-satunya tanaman minyak nabati yang sebanding adalah zaitun, tetapi tenaga kerja ekstra tercermin dalam harga minyak zaitun.
BACA JUGA: Cuaca Ekstrem dan Isu Geopolitik Pengaruhi Kinerja ANJ di 2023
Sektor kelapa sawit di Asia Tenggara memiliki masalah ketergantungan pada tenaga kerja murah. Menurut laporan tahun 2020 tentang target dan upah yang adil di sektor kelapa sawit di Indonesia, yang diterbitkan oleh Earthworm Foundation, penghasilan pemanen rata-rata hanya menghasilkan Rp 120.000 sehari (sekitar 54 yuan, atau US$ 8,50) jika mereka mampu memanen 1,2 ton buah per hari, itupun tidak semua pekerja mampu memenuhi.
Sementara, perkebunan kelapa sawit Malaysia, sangat bergantung pada pekerja migran Indonesia, yang dibayar di sekitar upah minimum, pada tahun 2019, mencapai RM 1.100 per bulan (sekitar 1.675 yuan atau US$ 262), dan meningkat menjadi RM 1.200 pada tahun 2020.
Mengingat tidak adanya industri minyak sawit China, industri karet dapat menjadi titik perbandingan. Kepala Kelompok Pengembangan Minyak Sawit di Institut Penelitian Karet Dari Akademi Ilmu Pertanian Tropis China, Zeng Xianhai mengatakan, bahwa pekerja di perkebunan karet milik negara di Hainan dan Yunnan akan mendapatkan 3.000–4.000 yuan per bulan, dan sekitar 4.000–5.000 di perkebunan karet swasta.
BACA JUGA: Kinerja Lingkungan Tinggi Tak Selalu Hasilkan Citra Baik Bagi Perusahaan Sawit
Zeng dan Lin Weifu sama-sama setuju bahwa China belum siap untuk menanam kelapa sawit secara luas. Tekanan besar yang dibutuhkan harus dipasangkan dengan perkebunan pada skala 10.000 mu (667 hektar) agar menguntungkan.
Di Cina, tanah dikerjakan dalam bidang-bidang yang lebih kecil, dan pemindahan hak pakai itu sangat mahal, serta mendirikan perkebunan untuk skala besar itu akan cukup sulit. Sementara, ahli karet Lin Weifu menjelaskan, prospek pasar untuk varietas Re-you 6 (varietas bibit klapa sawit) yang baru masih sulit untuk dinilai, lantaran biaya tidak dapat diperkirakan tanpa adanya pabrik kelapa sawit skala besar, dan tidak ada sektor pengolahan minyak sawit di China. Untuk saat ini, yang bisa mereka lakukan hanyalah menggunakan tes laboratorium.